Penggemar musik Kpop punya cara tersendiri untuk merayakan rilisan baru dari idola favorit mereka. Musim comeback menjadi waktu di mana penggemar menunjukkan apresiasi dan dukungan terbesar mereka kepada idola sepanjang masa promosi. Mulai dari mengorganisir streaming musik, bahu-membahu untuk memenangkan voting, donasi untuk pembelian musik demi mendongkrak tangga lagu, bahkan membuat acara-acara kolektif untuk promosi musik dari idola yang mereka dukung. Dedikasi fans yang luar biasa dalam setiap comeback ini tidak sia-sia; rekor-rekor baru dipecahkan setiap comeback, fandom dari idola yang bersangkutan tumbuh semakin besar, dan popularitasnya semakin meningkat. Hal ini tidak hanya terjadi pada satu idola saja, tetapi secara simultan terjadi kepada puluhan idola di industri musik Korea sehingga menciptakan persaingan yang ketat baik antar idola maupun penggemar (fandom).
Hal tersebut lantas berdampak pada pertumbuhan pesat dari industri hiburan Korea yang memberikan catatan statistik yang mengesankan, baik di pasar lokal maupun internasional. Industri hiburan Korea mencatatkan 0.2% dari total GDP Korea Selatan atau sebesar $1.87 miliar. Per tahun 2019, angka ini meningkat hingga 12.3 miliar (Guo, et al. n.d.). Merespons hal ini, Korea Selatan juga melakukan investasi terhadap ekspor budaya Korea hingga $584.8 juta pada tahun 2021, atau meningkat sebanyak 42,7% dari 2020, untuk mempromosikan soft-power nasional Korea Selatan ke pasar internasional (Koreatimes, 2020).
Di samping peran negara dalam melakukan promosi dan investasi, kesuksesan K-Pop tidak lepas dari loyalitas dukungan penggemar K-Pop yang dilakukan secara kolektif dan terorganisir. Dukungan dari penggemar ini dimanifestasikan dalam capaian-capaian yang berhasil diraih oleh idola pada setiap comeback. Di dalam bingkai industri Kpop, penggemar berperan lebih dari sekadar konsumen yang menikmati hasil produksi, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam proses produksi secara interaktif. Henry Jenkins (2013) menyebut peran penggemar tersebut sebagai "participatory culture". Penggemar ikut serta untuk berperan sentral dalam sirkulasi dan konstruksi makna dari media yang mereka konsumsi. Batas antara "konsumen" dan "produsen" dalam industri Kpop perlahan melebur seiring terlibatnya penggemar dalam rantai sirkulasi media tersebut.
Lantas, apa yang sebenarnya mendorong penggemar Kpop sebagai komunitas memiliki kultur partisipatoris? Dan bagaimana sesungguhnya posisi penggemar dalam kerangka industri musik K-Pop?
Hubungan Parasosial dan Bagaimana Industri K-Pop Bekerja
Hubungan penggemar dan idola K-Pop bertopang pada interaksi parasosial yang dapat dimaknai sebagai hubungan satu sisi yang dialami seorang pengguna media kepada persona media. Hubungan ini dapat terbentuk ketika pengguna media mulai melibatkan emosi, minat, dan waktunya kepada persona media yang ia sukai, meski kedua belah pihak tidak mengetahui satu sama lain di dunia nyata.Â
Melalui konsep hubungan parasosial ini, industri K-Pop, membangun interaksi berulang antara penggemar dengan figur-figur tersebut. Pendekatan dari interaksi parasosial ini dilakukan dalam beberapa tahap yakni melalui paparan media, lalu daya tarik fisik, daya tarik tugas (voting dan streaming), dan daya tarik sosial yang semuanya berkontribusi dalam membangun hubungan parasosial antara penggemar dengan idola (Rubin & McHugh, 1987). Paparan yang diberikan melalui pengeksposan momen pribadi dan perjuangan idola sehingga menumbuhkan empati dan rasa sayang  kepada idola. Setelah itu, terjadi interaksi sosial yang terus menerus yang membuat penggemar merasa hadir dalam sebuah hubungan timbal balik. Seiring dengan loyalitas yang berkembang di antara penggemar, industri secara aktif melakukan promosi melalui kucuran konten, melakukan beberapa kali comeback dalam setahun, bahkan memuat cuplikan konser dan aktivitas idola di balik layar dalam bentuk DVD. Ketika perusahaan menjual konten yang menunjukkan sedikit dari kenormalan idola, penggemar akan membelinya karena merasakan keterikatan emosi dari figur sempurna yang menunjukkan sisi "manusia" mereka dalam konten-konten tersebut (Espinal, 2022). Dari skema kerja ini, dapat kita lihat posisi idola yang menjadi komoditas utama dari industri, dan penggemar hadir untuk sebagai modal yang memutar roda produksi perusahaan sebagai dalam sebuah narasi yang disebut "dukungan".
Hubungan parasosial ini juga dikapitalisasi industri secara sistematis, salah satunya adalah melalui bentuk pemberian trofi untuk acara musik yang mendorong penggemar untuk terlibat aktif dalam menunjukkan dukungan mereka melalui streaming dan voting. Misalnya untuk acara musik mingguan SBS, Inkigayo, yang perhitungan tangga lagu mingguannya ditentukan oleh beberapa kriteria berikut : jumlah penjualan single digital (55%), SNS (30%), penjualan album fisik (10%), tampil secara On-Air (10%), pre-voting penonton (5%), dan live-voting (5%). Melalui poin penilaian tersebut, bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh fans harus mengikuti mekanisme yang ditentukan oleh industri demi memberikan idola masing-masing pencapaian yang menjadi tolok ukur "kesuksesan".
Menjadi "Fans yang Sebenarnya"
Mekanisme kerja industri K-Pop yang kompetitif dan menuntut partisipasi penggemar dalam mendukung idola, akhirnya menciptakan dorongan untuk melakukan bentuk kerja yang intensif dan terorganisir. Setiap musim comeback datang, setiap fandom biasanya akan membentuk target pencapaian pada era tersebut yang ditunjukkan melalui angka streaming musik di berbagai platform (Youtube, Spotify, MelOn, Bugs, Apple Music, dan lain sebagainya), penjualan album, ranking dalam tangga lagu, dan trofi dari acara musik mingguan dari berbagai saluran TV (Inkigayo, The Show, Music Bank, Countdown, dan Music Core). Setelah itu, penggemar akan saling memberikan arahan mengenai cara streaming yang benar, cara melakukan voting melalui berbagai aplikasi dan platform, dan berdonasi untuk pembelian musik, dan saling mendorong untuk meraih target yang telah ditentukan sebelumnya.