Mohon tunggu...
Hasna NaylaTazkiyatul Aulia
Hasna NaylaTazkiyatul Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang individu yang penuh dedikasi dengan semangat untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan dampak positif. Saat ini, saya tengah menempuh studi di jurusan Kebidanan di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Antusiasme saya terutama tertuju pada bidang kesehatan, pendidikan dan bisnis. Saya pernah bergabung dalam sebuah komunitas menulis online dengan tujuan meluaskan dampak positif dari hobi menulis saya serta berbagi inspirasi dengan penulis-penulis berbakat. Partisipasi dalam komunitas ini memungkinkan saya untuk mengasah kemampuan menulis saya, berinteraksi dengan individu kreatif, dan belajar dari mereka. Saya berhasil menghasilkan 3 buku antologi yaitu Attitude is Number One, Studies Blossom Rite dan Self Healing In Ramadhan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Umum yang Membangkitkan Pertanyaan

28 Agustus 2023   07:41 Diperbarui: 30 Agustus 2023   13:17 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kejujuran tidak bisa di ajarkan tapi dihidupkan." Ungkapan ini tidak hanya sekedar kata-kata, tetapi sebuah prinsip hidup yang mendalam. Kata-kata ini berasal dari pemikiran Almarhum Artidjo Alkostar, seorang tokoh hukum terkemuka di Indonesia yang dikenal dengan integritas dan kejujurannya. Beliau adalah seorang hakim yang telah meninggalkan warisan berharga bagi dunia hukum indonesia. Kutipan kata kata ini saya temui dalam perbincangan beliau dengan Najwa Shihab, dimana ia menegaskan pentingnya kejujuran dalam menjalani kehidupan.

 Tidak perlu mencari jauh untuk menemukan contoh yang menggambarkan makna dari ucapan artidjo, Bahkan dalam dunia pendidikan, tempat dimana nilai-nilai moralitas seharusnya ditanamkan dengan kuat, tampaknya kejujuran sering kali terpinggirkan. Para pelajar sering terjerumus dalam praktek tidak jujur demi mencapai angka yang lebih baik, tanpa memahami esensi sebenarnya dari pendidikan itu sendiri.

Saya menulis artikel ini menggambarkan pengalaman pribadi saya ketika masih bersekolah di tingkat SMA, dimana tindak menyontek dianggap sebagai suatu hal yang umum dilakukan. Saat saya berbincang dengan teman di bangku kuliah mereka juga mengungkapkan bahwa mereka mengalami pengalaman serupa, meskipun kami berasal dari sekolah yang berbeda. Melalui diskusi ini, saya semakin menyadari bahwa fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini menjadi hal yang lumrah dilakukan? Dan  fenoma ini menjadi sebuah isu yang memerlukan perhatian lebih mendalam.

Masalah ini tidak hanya berhenti di dunia pendidikan. Nilai kejujuran dalam masyarakat juga menghadapi tantangan serius. Di tengah degradasi moralitas, kejujuran seringkali diajarkan hanya sebagai pelajaran sekilas, tanpa ditanamkan dalam praktik kehidupan. Ketika lingkungan sosial menganggap tindakan tidak jujur seperti menyontek sebagai hal yang wajar atau bahkan sebagai strategi cerdik untuk mencapai sukses, individu-individu di dalamnya cenderung mengikuti norma tersebut. Dalam situasi ini, keputusan untuk menyontek sering kali dipengaruhi oleh pandangan diri sendiri dan tekanan sosial.

Perilaku seseorang, sebagian besar, dipengaruhi oleh norma sosial dan lingkungannya. Norma-norma tersebut, bersama dengan persepsi orang-orang di sekitarnya, berperan penting dalam membentuk karakter dan tindakan seseorang. Upaya untuk merasa setara atau tidak ketinggalan sering kali mendorong individu untuk mengabaikan nilai dan prinsip yang sebenarnya mereka anut.

Namun, perlu diakui bahwa menyontek menciptakan ketidaksetaraan dalam belajar dan meraih prestasi. Pertanyaan pun muncul, "Apakah menyontek bisa dianggap sah demi meraih kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan?" Namun, menyontek jelas melanggar prinsip-prinsip keadilan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila. Meskipun ada cara lain untuk meraih kesuksesan tanpa menyontek, seperti belajar dengan maksimal, rasanya tidak adil jika upaya keras ini hanya menghasilkan nilai yang rendah di banding orang-orang yang menyontek. Dan dari sini, akar dari sikap menyontek tumbuh dalam diri pelajar yang berdedikasi.

Berbagai faktor, termasuk tekanan akademik yang tinggi, kompetisi yang ketat, dan kurangnya pemahaman akan konsekuensi dari ketidak jujuran, dapat memicu perilaku menyontek. Namun, menyontek memiliki dampak merugikan yang jauh lebih besar daripada manfaat yang mungkin dihasilkannya. Tindakan menyontek bisa meredam semangat belajar, menghilangkan esensi pendidikan sebagai sarana pengembangan diri, dan menciptakan ketidaksiapan menghadapi tantangan di dunia nyata bagi para pelaku menyontek.

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Artidjo: kejujuran memang tidak dapat diajarkan dengan kata-kata, tetapi harus dihidupkan dalam tindakan. Meskipun nilai-nilai kejujuran diajarkan dalam dunia pendidikan, nyatanya masih terdapat banyak tindakan tidak jujur di dalamnya. Kejujuran bukanlah tanggung jawab hanya satu individu, tetapi merupakan panggilan bagi kita semua untuk menghidupkannya dalam setiap aspek kehidupan kita. Mari kita bergandengan tangan dalam membangun masa depan pendidikan yang lebih bermartabat, di mana integritas menjadi pondasi kuat bagi setiap individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun