Mohon tunggu...
Hasna Yasyfi
Hasna Yasyfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang menulis hal-hal yang berkaitan dengan dunia hiburan, kuliner, dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebebasan Pers dan Tantangan Baru di Era Prabowo Gibran

5 November 2024   07:29 Diperbarui: 6 November 2024   07:51 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan pers merupakan hak fundamental dalam suatu pemerintahan demokrasi. Sebagaimana yang pernah dikatakan Presiden ke-3 Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, “Kebebasan pers adalah pondasi negara yang berdemokrasi”. Maka dari itu, kebebasan pers sangatlah penting dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Indonesia adalah salah satu contoh dari negara yang menganut sistem demokrasi. Di negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan pers berfungsi sebagai pengawas kekuasaan (watchdog), yang memungkinkan transparansi dan akuntabilitas di kalangan pejabat publik serta membuka ruang diskusi publik yang sehat tentang isu-isu penting. Meskipun kebebasan pers diakui secara konstitusional, nyatanya pers terkadang dipaksa untuk diam dan bahkan dipaksa tunduk akan kekuasaan. Jika hal tersebut terjadi, mati sudah nilai kebenaran.

Mei 1998 terjadi banyak peristiwa yang menjadi sejarah kelam Indonesia. Di antaranya aksi penjarahan dan kerusuhan, insiden Trisakti, pendudukan gedung DPR/MPR, hingga mundurnya Presiden ke-2 RI. Presiden Soeharto adalah realitas sejarah yang mengiringi akhir era Orde Baru. Hal ini dilatarberlakangi oleh banyak faktor, beberapa di antaranya krisis moneter pada tahun 1997 yang memicu inflasi, pengangguran, dan kemiskinan yang meluas. Pada masa itu, pemerintahan Orde Baru yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dikritik karena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela. Kerusuhan yang terjadi pada saat itu memicu korban Jiwa dan kerugian materi yang besar. Tak hanya itu, tragedi 1998 memicu banyak perubahan di Indonesia, di antaranya perubahan politik yang meruntuhkan rezim otoritarian Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Dan yang terpenting, kebebasan pers menjadi hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat dapat lebih vokal dalam menyuarakan aspirasi, kritik terhadap pemerintah, dan mengetahui lebih dalam apa yang terjadi pada negara.

              Beberapa peristiwa di akhir masa pemerintahan Orde Baru yang melatarbelakangi terciptanya UU No.40 tahun 1999 tentang pers, yang berbunyi:

  • Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
  • Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
  • Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Kebebasan pers berarti hak media untuk menyampaikan informasi tanpa adanya tekanan atau campur tangan dari pemerintah yang berkuasa atau pihak-pihak tertentu. Hak ini diakui dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan di Indonesia dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi, “Bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh Informasi, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur tentang keterbukaan Informasi Publik. Fungsi maksimal ini diperlukan, mengingat hak untuk memperoleh Informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.”

Beberapa wak  tu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak lagi secara eksklusif ditetapkan pada usia 40 tahun. MK mengabulkan permohonan perubahan batas usia yang memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk maju sebagai capres atau cawapres, asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Perubahan ini menarik perhatian publik dan menimbulkan pro dan kontra karena Gibran Rakabuming Raka, sekaligus anak sulung Jokowi, digadang-gadang menjadi calon wakil presiden. Ibarat membuat candi, hukum direvisi oleh yang berkuasa dalam waktu yang singkat. Awal 2024 dimulai dengan kampanye dan pemilihan umum. Atas kehendak yang maha kuasa, pasangan nomor 2 akhirnya terpilih dengan 58,59% suara. 20 Oktober 2024 kemarin, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka secara resmi mengemban tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2024-2029. Namun, apakah ini menjadi kabar baik bagi kebebasan pers Indonesia?

Nyatanya, kebebasan pers semakin dibatasi oleh hukum. Salah satunya Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang berlaku mulai tanggal 18 Oktober 2024 lalu. Kebijakan itu nantinya akan melindungi masyarakat dari penyebaran data pribadi tanpa persetujuan. Namun, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, kebijakan tersebut malah menjadi ancaman khususnya bagi produk jurnalistik. Undang-undang tersebut dianggap seperti pisau bermata dua. Dilansir dari Tempo, Ade, selaku Direktur Eksekutif LBH Pers mengatakan, jurnalis bekerja untuk kepentingan publik. Dengan tidak adanya pengecualian bagi kerja jurnalistik dalam UU PDP, hal tersebut akan bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers serta UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Tak hanya itu, belum ada satu minggu sejak Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah dibatasi. Suara-suara kritis dari mahasiswa, jurnalis, dan elemen masyarakat lainnya dibungkam. Contohnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 22 November 2024, BEM FISIP Unair memajang karangan bunga di taman kampus. Karangan bungan itu mengandung pesan mengkritik pemerintahan baru. Dalam foto yang beredar, karangan bunga tersebut berisikan tulisan ‘Selamat atas dilantiknya Jenderal Bengis Pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3 sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi.’ Pada karangan bunga terpampang foto Prabowo yang di bawahnya tertulis, 'Jenderal TNI Prabowo Subianto Djojohadikusumo (Ketua Tim Mawar)' dan juga foto Gibran di bawahnya bertuliskan, 'Gibran Rakabuming Raka, B.SC (Admin Fufufafa).' Tak berselang lama, foto karangan bunga tersebut viral di media sosial dan pihak kampus segera mengambil langkah dengan membekukan sementara BEM FISIP Unair dengan dalih kritikan harus disampaikan dengan sopan.

Aksi tersebut menunjukkan ketidakpercayaan rakyat Indonesia bahwa kebebasan pers akan tetap terjamin di era kepemimpinan yang baru. Bahkan, ketika bersuara mengenai isu di media sosial pun, rakyat sering kali dibungkam oleh kumpulan buzzer yang diduga pendukung Presiden yang terpilih tersebut. Terkadang, buzzer yang berkomentar di unggahan mengenai isu terkait pemerintahan Prabowo-Gibran melakukan doxing hingga pembunuhan karakter. Seperti yang terjadi pada Najwa Shihab, selaku pendiri media Narasi, yang mengalami kasus perundungan yang mengandung suku, agama, ras, dan golongan (SARA) serta  pelecehan di media sosial TikTok, Instagram, dan X. Setelah ditelusuri, pembunuhan karakter terhadap Najwa Shihab ini bermula dari pernyataan Najwa dalam acara siaran langsung pelantikan presiden dan wakil presiden RI di kanal Youtube NarasiTV. Ketika itu Najwa menyebut Joko Widodo, nebeng pesawat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) untuk pulang ke Solo, pada 20 Oktober 2024 lalu. Pernyataan Najwa tersebut bukan tanpa alasan, karena sebelumnya Jokowi direncanakan pulang ke Solo menggunakan pesawat komersial setelah selesai menjabat sebagai kepala negara. Namun, Jokowi akhirnya pulang menggunakan pesawat kenegaraan Boeing 737-800 Next Gen. Pesawat Jokowi dan istri, Iriana Joko Widodo, dikawal dengan delapan pesawat tempur TNI AU hingga ke Solo. Pernyataan Najwa yang viral itu pun menuai sentimen negatif. Najwa dihujat netizen di media sosial. Tak hanya mendapatkan serangan secara pribadi, salah satu pengguna TikTok juga mengunggah video pembakaran buku karya Najwa.

              Tak hanya itu, media sosial beberapa waktu lalu digemparkan dengan akun di situs Kaskus bernama Fufufafa yang diduga milik wakil presiden Indonesia, Gibran. Unggahan lama akun Fufufafa kembali dimunculkan di berbagai media sosial pada akhir Agustus lalu, dan terus meluas sampai hari ini. Di dalam akun tersebut terlihat banyak sekali komentar jahat yang dilontarkan kepada banyak orang, termasuk kepada presiden Indonesia saat ini, Prabowo. Tentu saja banyak netizen yang mencurigai akun tersebut dikelola Gibran. Namun, Gibran membantah kepemilikan akun Fufufafa dengan mengatakan, "Ya, tanya yang punya akun. Kok ke saya?“. Pihak-pihak lain yang diminta kejelasan oleh netizen dan pers juga memilih untuk bersikap santai dan bodo amat mengenai isu ini. Apakah kasus seburuk ini harus dibiarkan menguap begitu saja?

              Di era Prabowo-Gibran ini akan lebih menantang untuk demokrasi. Seluruh masyarakat sipil diharuskan saling merangkul demi solidaritas. Kita harus memikirkan hal yang terburuk di era pemerintahan ini. Baik itu dari pembungkaman suara, hingga bullying di media sosial. Demokrasi itu harus berisik, artinya bisa menyuarakan sesuatu tanpa batas. Kalau senyap, tidak ada suara terhadap negara dan pemerintahan itu bukan demokrasi, tapi negara otoriter. Dalam 5 tahun ke depan, Indonesia harus lebih kritis agar mampu menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis, mengedukasi masyarakat tentang literasi media, dan menekankan independensi pers agar demokrasi di Indonesia tetap terjaga. Kebebasan pers harus dilindungi, bukan hanya sebagai hak asasi manusia tetapi juga sebagai sarana bagi bangsa untuk berkembang dan maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun