Mohon tunggu...
Hasna Sanniyah
Hasna Sanniyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aktif menjadi Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan Sosial dan Unsur Feminisme dalam Novel "Saman" Karya Ayu Utami

29 Juni 2024   21:59 Diperbarui: 29 Juni 2024   22:59 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/4wa2NENBoqAUFok37

Novel yang berjudul Saman ini dikemas oleh Ayu Utami dengan bahasa yang vulgar. Bacaan seperti ini hanya layak dibaca oleh kalangan orang dewasa. Bahkan diksi yang digunakan oleh Ayu Utami cukup tinggi sehingga sulit untuk memahami maknanya. Namun dengan begitu, Ayu Utami ingin menunjukkan bahwa penulis wanita bebas untuk menuliskan ceritanya dengan gaya bahasa apapun. Melalui tulisannya, Ayu Utami berbicara bahwa wanita juga bisa bebas mengekspresikan pemikiran seksualitasnya. 

Saman yang diceritakan dalam novel memiliki nama asli yaitu Wisanggeni. Ayu Utami mengambil nama Wisanggeni yang merupakan nama tokoh pewayangan Jawa dan nama Wisanggeni sudah dikenal oleh masyarakat. Saman memiliki karakter yang baik, penyabar, dan penyayang. Sifat-sifat ini ia tunjukkan saat ia merawat Upi. Ia menyiapkan tempat yang nyaman bagi Upi, bahkan ia selalu melindungi wanita tersebut. Saman memiliki hati yang mulia karena membantu masyarakat yang kesusahan hingga ia mengorbankan nyawanya. Dari sini, kita bisa melihat bahwa Ayu Utami menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya dimiliki oleh pria sejati. Selain itu, melalui karakter Saman, Ayu Utami ingin menyampaikan bahwa kita harus memiliki rasa kemanusiaan dalam diri kita.

Terdapat isu-isu yang ada dalam buku ini, salah satunya ialah isu perselingkuhan. Isu tersebut diperlihatkan saat Laila menjalin cinta dengan Sihar yang berstatus sudah menikah. Laila tidak mempedulikan istri Sihar, ia hanya memikirkan cintanya yang begitu besar untuk Sihar. Dalam hal ini, Ayu Utami ingin menyampaikan bahwa cinta bukan suatu hal yang salah, hanya manusia yang menyalahgunakan hal tersebut atas nama cinta. Karena bagaimanapun juga, perselingkuhan adalah suatu hal yang salah, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun meski atas dasar nama cinta. 

Selain perselingkuhan, novel Saman juga mengajarkan bagaimana kisah pertemanan yang solid antara para tokoh. Sihar sangat menyayangi temannya yang bernama Hasyim Ali, hingga Sihar rela melakukan apapun untuk menegakkan keadilan atas meninggalnya Hasyim Ali. Kemudian, pertemanan antara tokoh Laila yang memiliki karakter lugu, Shakuntala yang memiliki jiwa pemberontak, Cok yang memiliki karakter wanita binal, dan Yasmin yang dikenal jaim. Mereka berempat menjalin pertemanan sejak kecil hingga mereka dewasa. Sekalipun mereka memiliki karakter dan pemikiran yang berbeda, namun mereka dapat melewati berbagai lika-liku pertemanan. Kemudian, pertemanan antara Saman dengan Anson yang merupakan kakak dari Upi begitu mengharukan ketika Saman ditahan dan Anson penuh perjuangan berusaha menyelamatkan Saman.

Pertemanan yang diceritakan di sana membuat saya merasa bahwa memiliki sahabat yang pengertian, tidak mementingkan ego, dan saling membantu merupakan anugerah yang patut disyukuri. Karena teman adalah sosok yang paling dekat dengan kita, hidup kita tidak ada maknanya tanpa hadirnya teman.

"Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanam-nya. Jika dalam sebulan mereka tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu." (Utami, 2013: 93). Kutipan tersebut menggambarkan bahwa orang-orang yang memiliki kuasa dan memiliki banyak uang merasa dapat menguasai lahan rakyat kecil hingga menindas mereka tanpa ampun. Pembunuhan, penganiayaan, hingga pemerkosaan mampu mereka lakukan kepada masyarakat yang tidak memiliki kuasa hukum. Ayu Utami ingin menunjukkan bahwa masih banyak yang melakukan hal seperti itu kepada rakyat kecil hingga mereka kehilangan ladang dan rumah mereka.

Selain dari permasalahan sosial yang sudah dibahas, novel Saman ini sebenarnya lebih didominasi oleh unsur feminisme dan budaya patriarki. Ayu Utami menuangkan pemikirannya melalui novel ini bahwa wanita harus menyadari tubuhnya adalah sesuatu yang berharga. Digambarkan melalui tokoh Laila yang memiliki ketakutan untuk menyerahkan keperawanannya kepada Sihar. Sehingga karena ketakutannya itu, Shakuntala mengingatkan Laila untuk tidak berhubungan seksual dengan Sihar. Hal ini, menunjukkan bahwa wanita harus pandai menjaga tubuhnya karena tidak semua orang dapat menyentuh tubuh wanita, terkecuali didasari dengan adanya pernikahan yang dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. Berhubungan seksual di luar nikah sangat merugikan bagi wanita, karena sebagaimana pandangan masyarakat umum bahwa wanita yang sudah kehilangan keperawannya itu akan berbekas, berbeda dengan pria. Sekalipun wanita diperkosa, wanita terkadang selalu disalahkan bukan mendapat perlindungan sebagai korban. 

Ayu Utami sebagai sosok penulis wanita yang ingin menyampaikan melalui novelnya bahwa wanita bukanlah budak seks yang dapat seenaknya diperlakukan sebagai pemuas nafsu pria. Dalam novel ini diceritakan tokoh wanita bernama Upi yang terganggu jiwa dan mentalnya, namun pria dengan teganya memanfaatkan hal itu untuk menyetubuhi Upi. Begitu keji perilaku pria yang dikuasai hawa nafsu, dan kasus pemerkosaan wanita hingga saat ini masih saja terjadi. Maka dari itu, Ayu Utami menyampaikan bahwa wanita seharusnya diperlakukan dengan baik, bukan hanya sebagai pemuas nafsu.

Budaya patriarki juga sempat disinggung oleh Ayu Utami dalam novel ini. Sebagaimana yang terlihat pada kutipan berikut, "... seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki..." (Utami, 2013: 184). Di sini, Ayu Utami menjadikan novel Saman sebagai bentuk protes sosial mengenai budaya patriarki yang masih ada hingga sekarang. Perempuan harus memiliki kebebasan dalam hidupnya. Maka dari itu, Ayu Utami mengharapkan budaya patriarki ini perlahan lenyap agar terjalinnya keseimbangan hak antara wanita dan pria. 


Referensi

Utami, A. (2013). Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun