Jujur, aku melakukannya.
Hatiku telah jatuh tanpa alasan di tempat yang tak memberi harapan.
Temanku bertanya kenapa hatiku berhenti di kamu. Harusnya jawaban itu ada. Karena teman-temanku jatuh hati pada seseorang yang bisa mereka rinci kelebihannya sedemikian rupa. Kucoba mencari bagian mana darimu yang membuatku berdebar. Tapi segalanya melebur menjadi satu bagian. Yaitu kamu. Aku menyukaimu karena itu kamu, tanpa alasan.
Percayalah, aku sudah mencoba menampik rasa. Kutekankan pada diriku bahwa kamu hanya teman biasa. Kutekankan pada diriku bahwa di matamu aku bukan siapa-siapa. Kutekankan pada diriku bahwa di duniamu aku bukan satu-satunya. Kutekankan pada diriku bahwa kamu tak punya rasa yang sama. Tapi aku gagal.
Kamu tahu? Aku ini wanita yang bodoh sekaligus kuat.
Aku memelihara rasa yang tak punya masa depan. Aku menunggumu dalam ketidakpastian. Aku menaruh asa pada kemustahilan yang kau tegaskan. Kamu melarangku berharap, tapi harapku tak tahu diri. Dia tetap ada meski sudah kuusir, kusuruh pergi bahkan kutinggalakan di pelataran sepi. Kamu tahu hebatnya perasaanku? Dia berhasil menjemput harapan itu berkali-kali. Sudah kumarahi, tapi dia tak peduli. Rasaku padamu menari dengan bodohnya.
Biarlah. Kamu tak perlu bertanggung jawab atas rasaku. Kamu bebas dengan hidupmu. Perasaan ini tak akan mengganggumu. Biar saja aku yang rindu dan bertepuk sebelah tangan. Sampai suatu saat ---yang entah kapan--- aku lelah dan bisa melupakanmu dengan sendirinya.
Cinta ini kupersembahkan pada hati yang terkunci. Ia terantuk di depan pintu, mengetuk-ngetuk dalam sunyi.
Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H