Gosip itu ternyata tersiar juga di tengah-tengah aktivis dakwah. Dan termasuk gosip itu pun hinggap ke adikku. Sekarang dia mulai beraksi dengan hasil investigasinya melaporkan. Dimulai mengomporiku, hmmm,, dengan lugas dan sedikit menahan sesak aku pun memberikan pengertian pada adikku tentang penantianku ini.
“Adeku Fatimah yang sholehah, aa cukup bahagia hanya dengan mencintainya karena cinta itu bukan meminta tapi memberi. Cinta tak pernah meminta untuk menanti sayang. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan. Aa akan terus memantaskan diri untuk bersanding dengan bidadari, jika aa tidak diberi kesempatan dengan teh Fauziah, mungkin beliau bukan yang terbaik untuk aa tapi terbaik untuk orang lain.”
Adikku itu malah tersenyum sambil menitikkan air mata mendengar kata-kataku. Mungkin pemberitahuan itu merupakan ujian cintaku padanya. Setelah mengetahui dari perbincangan di kalangan aktivis, ternyata yang akan melamarnya adalah kang Fauzan, seniorku, seseorang yang sudah lama aku segani dan hormati, dia berhak mendapatkan bidadari dunia seperti Fauziah. Insya Allah aku ridho, melihat kecocokan mereka yang sama-sama aktivis dakwah kampus yang ghirahnya selalu disalurkan kepada teman-teman timnya. Mereka akan menjadi pasangan yang solid.
Jika dibandingkan dengan diriku, kang Fauzan adalah pemimpin yang berkharismatik dan berwibawa. Semangat dakwahnya hingga kini selalu menciptakan kader-kader dakwah baru, generasi pejuang yang akan melanjutkan risalah Rasulullah saw., sedangkan aku merupakan salah satu kader yang dibentuknya. Jika melihat perbedaan yang menjulang seperti itu, aku sendiri merasa malu untuk menjadi rivalnya.
Sosok akhwat itu sebenarnya baru beberapa minggu ini telah mengusik relung hatiku yang paling sensitif. Kami sama-sama aktif organisasi yang bergerak di lembaga dakwah kampus. Mendengar kepintaran dan kesholihannya membuat dadaku kembang kempis, ahhh,,lembay yah.. tapi memang itu yang sedang aku rasakan.
Tidak banyak yang tahu perasaanku, bahkan musyrifku tidak tahu, karena aku begitu malu, sehingga aku terus memantaskan diri agar bisa bersanding dengan dirinya yang anggun dan sholihah. Tapi kini aku mendapat kabar dia telah dikhitbah oleh orang lain.
“Kenapa Dhil? Seperti orang yang gelisah? Ada yang bisa ana bantu?”
“Ah agan ini, ana biasa aja kok. Oh iya katanya kang Fauzan sudah mengkhitbah seseorang ya?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan yang ingin kuketahui, semoga saja sahabatku ini up to date.
“Iya sih, tapi dari kabar yang ana denger beliau ditolak.”
“Ah masa sih? Kenapa bisa ditolak?” kegelisahanku kini sedikit mengendur, benarkah berita itu? Tapi kok serasa aku senang di atas penderitaan orang lain ya? Astagfirullah..
“Entahlah, setahu ana beliau sudah dekat bahkan mungkin seperti kerabat dengan ayah si akhwat.”
Aku sedikit minder, orang yang sudah dekat saja masih dia tolak, apalagi aku yang bukan siapa-siapa. Aku sedikit minder kembali, kegelisahanku semakin menjadi mengingat apa yang sebenarnya dicari oleh sang ayah?
Teringat kisah cinta Ali, beliau begitu mencintai Fathimah binti Muhammad saw., sepupunya sendiri, cinta diam-diam yang dilakukan Ali begitu menyentuh, meski pada akhirnya beliau dipersatukan dengan cintanya. Kisah ini lebih romantis bagiku dibanding kisah cinta yang sering didengungkan Barat, seperti Romeo and Juliet karangan fiktif, kisah Ali dan Fathimah ini kisah nyata dan cinta yang suci karena atas dasar kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apa aku akan merasakan hal yang sama dengan kisah cinta Ali? Beliau mempersilakan cintanya untuk memilih pendamping jika bukan dirinya, dengan sikap yang ridho, ketika salah satu sahabat dekat Rasul meminang Fathimah. Meski pada akhirnya Rasulullah menolak setiap pinangan itu, tetap saja membuat hati Ali sedikit ciut, dan dengan ketegarannya Ali tetap memantaskan diri dan dengan keberaniannya akhirnya dia datang menghadap Rasulullah untuk meminang Fathimah. Ahh cinta yang romantis. Meski berkali-kali aku membacanya namun tidak ada kata bosan. Atau aku yang sedang mellow?
Kurengkuh kembali puing-puing khayalanku yang sempat pecah, apa salahnya jika aku pun mencintai sejantan Ali, keberanian atau pengorbanan, bukankah itu yang selalu aku katakan pada adikku. Kutipan kata-kata Ali yang kugunakan untuk menjadi kekuatanku.
Aku bersyukur, karena aku bisa mengorek informasi tentang Fauziah melalui Fatimah adikku. Dia kebetulan sering mengikuti kajian yang diadakan sekolahnya, dan pengisinya adalah Fauziah. Fauziah memang aktif memberikan kajian di sekolah almamaternya, dan beruntungnya adikku termasuk adik asuhnya.
“A, teh Fauziah menolak lamarannya.” Fatimah memberikan informasi setiap pulang kajian, mungkin dia sudah mengerti maksud hati kakaknya, sehingga tanpa dikomando dia selalu melaporkan hasil investigasinya.
“Aa udah tau dari temen. Terus teh Fauziahnya ngasih alasan nggak kenapa dia menolak lamarannya?”
“Ya nggak atuh a, masa dengan gampangnya curhat masalah itu. Imah kan masih orang asing, ngapain tanya-tanya ke arah itu.
“Oh..” aku sedikit melepaskan satu kegelisahan hati, meski belum sepenuhnya sirna. Hanya Allah tempatku bernaung mencurahkan segala rasa ini. Jika ingin memiliki cinta dari seorang makhluk maka mintalah cinta itu kepada yang memilikinya dan yang menciptakannya.
Fokus Dhil.. aku terus menyemangati diriku sendiri, apalagi sebentar lagi ada agenda acara LDK yang lending, harus bersikap professional dalam dakwah, katanya mau disebut pengemban dakwah, ah malu diri ini jika ingin disebut seperti itu tapi sikapku belum sepenuhnya mencerminkan sebagai pengemban dakwah.
Sudah satu minggu aku fokus dalam kepanitiaan acara, karena mengingat sebentar lagi acara akan digelar. Semakin hari aku semakin semangat mempelajari Islam, because Islam is my choice and my life. Halqah setiap minggu dengan semangat aku ikuti, seksama mendengarkan setiap syarah yang dilontarkan sang Musyrif.
“Wah, sepertinya ada yang sedang semangat nih!” satu waktu kang Fauzan mengajakku untuk berbincang-bincang di selasar masjid kampus selepas shalat zuhur.
“hehe.. Si akang ada-ada saja. Insya Allah, saya ingin terus mengobarkan semangat dakwah seperti akang.”
“Akhir-akhir ini ana melihat antum banyak kemajuan untuk terus belajar sesuatu untuk mengembangkan dakwah. Ana senang, namun jangan biarkan semangat itu terus menggebu-gebu tanpa ada filterisasi. Jangan sampai semangat antum sekarang yang sedang menyala tiba-tiba meredup suatu hari, karena suatu hal atau berbagai hal. Kembali luruskan niat, bahwa semangat dakwah ini hanya untuk memperjuangkan agama Allah, menegakkan kembali Islam di muka bumi ini sebagai satu-satunya Ideologi.”
“Aamiin,, insya Allah kang, doakan selalu ana untuk tetap istiqomah. Ana seperti ini pun berkat bertemu akang.”
“Allah yang menggerakan hati antum untuk mengambil pilihan di jalan dakwah ini, ana hanya sebagai fasilitator yang memang sebagai tugas ana juga untuk mengajak.”
“Ya ana bersyukur bisa dipertemukan dengan akang sehingga ana bisa berkontribusi untuk Islam. Kalau ana tidak bertemu dengan akang, mungkin seumur hidup ana hanya mengerti Islam sebatas agama saja yang digunakan dalam ibadah mahdoh saja, padahal Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk ke tatanan Negara.”
“Islam adalah sebuah mabda, dimana jika mabda itu telah tertanam dalam jiwa seseorang maka seseorang itu tidak akan pernah diam, dia akan menyuarakan mabda ini bahkan sampai mabda ini diemban oleh seluruh dunia.” selalu merinding jika kang Fauzan dengan semangat menjelaskan mabda Islam. Aku bangga menjadi muslim.
“Oh iya, ana lihat antum sepertinya sudah layak untuk mencari teman seperjuangan dalam mengarungi kehidupan dan menyempurnakan separuh agama, adakah seorang akhwat yang mengusik gharizah na’u antum?”
Aku kembali teringat perasaanku. Inikah saatnya aku mengutarakan maksudku untuk memberanikan diri?
“Kenapa antum melamun? Oh iya, ana ketitipan amanah. Ini dari sahabatmu.” Kang Fauzan memberikan selembar kertas yang masih dibungkus, warnanya yang menarik perhatian terkesan mewah. Dengan senang hati aku menerima kertas itu dari tangan kang Fauzan.
“Wah dia mau nikah ternyata, dengan siapa kang?”
“Antum lihat saja, kapan antum akan menyusul?”
Tanpa melihat dan menghiraukan pertanyaan kang Fauzan dengan penasaran aku membuka bungkusan kertas yang bertuliskan undangan Pernikahan itu. Dhani ternyata sudah mendahuluiku, dia lebih berani mengungkapkan cintanya.
Setelah dibuka dan membacanya aku mendapatkan nama yang tak asing lagi tercantum di dalamnya, dua nama yang kurasa mengenalnya, nama sahabatku dan juga seseorang yang selama ini sudah mengusik hatiku. Ahh, inikah pengorbanan itu lagi? Aku sibuk menata hatiku yang baru kusadari kembali retak.
“Dhil.. Fadhil.. kamu kenapa? Ada yang aneh?”
“Eng, eh kang, afwan, tadi tanya apa?” aku menyadari ternyata kang Fauzan masih ada di dekatku. Aku mengamati wajahnya, dia tidak terlihat terpukul ataupun sedih, ternyata dia telah ridho, aku malu jika dibandingkan dengan dirinya. Ah, mungkin bidadari pilihanku memang terbaik untuk sahabatku, aku juga masih kalah saing dengannya.
“Oh, jadi Dhani nikah sama Fauziah..” Gumamku menjawab pertanyaanku yang sempat aku lontarkan kepada kang Fauzan.
“Kamu nggak apa-apa Dhil? Muka kamu pucat. Mau aku antar ke puskesmas?”
“Nggak papa kok kang, saya tetap sehat. Syukur Alhamdulillah Dhani udah menemukan bidadarinya. Akang kapan nih?” aku cepat-cepat kembali menguasai diri.
“Yey, ana justru tanya antum, tapi tadi malah sibuk membuka undangan. Kalau ana insya Allah menyusul. Doakan saja semoga prosesnya lancar.”
“Aamiin.. semoga dimudahkan oleh Allah kang, ana ikut bahagia. Kalau ana, mau sibuk memantaskan diri dulu, jika tidak mendapatkan bidadari dunia, mungkin Allah telah menyiapkan untuk ana bidadari syurga.”
Ternyata jatuh cinta itu sakit ya, lebih baik bangun cinta.. ridho Dhil. Ikhlaskan dia demi kebahagiaannya, Allah telah memilihkan untukku yang terbaik, mungkin bukan untuk sekarang. Batinku terus mentabahkan.
“Oh iya, Dhani juga titip pesan kalau antum yang menjadi ketua kepanitiaannya dari pihak ikhwan. Dan insya Allah beliau ingin antum menemuinya ba’da ashar.”
Aku sempat kesal juga, kenapa dia baru memberitahuku sekarang bahkan melalui orang lain. Padahal aku kan teman dekatnya, sesibuk apa sih sampai dia nggak menyempatkan diri menelpon atau sekedar sms memberitahuku.
“Ok insya Allah siap kang. Jazaakallah atas pemberitahuannya.”
“Wa iyyakun. Oh iya, afwan ya, padahal ana masih ingin berbincang-bincang dengan antum, tapi ana ada janji mau pulang bareng dengan adik ana. Salam buat Dhani juga ya. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam. Wr..wb .” jawabku setengah berbisik. Untung di selasar masjid ini hanya ada aku sehingga tidak ada yang tahu kegelisahan dan kesedihanku saat ini. Kulirik jam tangan kananku, masih jam 14.30, waktu ashar masih satu jam lagi.
***
“Heheh.. sorry sobat.” Dhani hanya cengengesan saat kutemui.
“Aku takut kamu patah hati, tapi jujur aku ingin kamu orang pertama yang mengetahuinya tentunya setelah Kang Fauzan, tapi bener toh?”
Aku hanya memasang wajah cemberut dihadapannya. Kami memang selalu bercanda di saat berdua, bahkan sampai seperti anak-anak.
“Ok.ok,, sekarang aku maafkan,, tapi hanya kali ini saja.”
“Sipp bos..tapi kamu tetap menjadi orang kedua dalam hidupku setelah my wife, haha..” ketawanya semakin puas. “Kapan kamu nyusul aku ke pelaminan?”
“Nanti aku menemanimu kok Dhan,,hehehe”
“Ihh… jadi jomblo jangan segitunya kali pa. Nanti kan aku sudah ada yang punya.”
“Tapi sekarang belum kan,” aku menggodanya dengan merangkulkan tanganku.
“Jangan sedih yah sob aku tinggalin, ayo sekarang kita rapat.” Dia kembali menguasai diri.
“Kamu jahat ninggalin aku, oh iya kamu kenal dia darimana?”
“Ada deh,, acaranya kan seminggu lagi. Aku udah persiapkan masalah logistic dan teknisnya. Nanti kamu tinggal mensosialisasikannya dengan panitia lainnya.”
Sore itu kami rapat berdua dengan diselingi senda gurau yang mungkin kesempatan ini tidak akan datang sesering nanti setelah dia menikah.
***
Kupatut diri di depan cermin beberapa kali. Aku baru menyadari ternyata wajahku semakin kurus. Benar kata teman-teman, mereka mengkhawatirkan keadaanku seminggu ini yang terlalu memforsir tenaga, hingga aku lupa dengan masalahku.
Ah,, kini masalah itu akan menjadi masa lalu yang sebaiknya aku kubur dalam-dalam, supaya orang lain tidak mengetahuinya. Cukup aku dan Allah saja.
“A, kenapa sekarang jarang nanyain teh Fauziah? Emangnya udah ada yang baru lagi?” ahh,,, Fatimah, kau mengingatkanku kembali. Tapi biarlah cinta itu hanya bersemi di hatiku saja tanpa seorang pun tahu kepedihannya.
“Nggak papa, aa mau focus kuliah dan dakwah dulu.” Jawabku dengan masih memandang diriku di hadapan cermin.
“Aa pergi dulu ya, sekarang ada pernikahan teman jadi pulangnya agak terlambat. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam..”
Sepanjang jalan tak hentinya aku membaca istighfar, karena kegundahan hati, ada apa dengan diriku yaa Rabb? Hari ini adalah hari bahagia untuk sahabatku, kenapa aku tidak bisa merasakannya? Apakah hati ini terlalu penuh dengan rasa cinta pada makhlukMu? Ampuni aku Yaa Rabb..
Sesampainya di tempat acara yang akan berlangsungnya akad nikah, kaki ini berat untuk melangkah. Wahai kaki, berjalanlah, jangan kau halangi aku untuk menunaikan amanah ini! Batinku berseru.
Acara akad nikah berlangsung pada pukul 9 pagi, dan dilanjut sungkeman kepada masing-masing keluarga, ketika walimatul Ursy, tamu undangan yang hadir akan dipisah. Itu konsep yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Dan akad nikah hanya dihadiri oleh keluarga kedua mempelai. Akad nikah hanya diikuti oleh mempelai pria, wali mempelai perempuan, saksi dan tentu saja penghulunya. Mempelai perempuan akan memasuki tempat setelah diucapkannya akad dan disyahkan oleh kedua saksi.
“Dhil. Persiapannya udah beres? Mempelai laki-laki insya Allah akan datang jam 08.30.” seseorang menyadarkanku dari lamunan. Lagi-lagi aku melamun saat akan berlangsungnya acara.
“Ok sip. Nanti aku kasih tahu ke pihak keluarga mempelai perempuan.”
***
Gagahnya sahabatku mengenakan kemeja dan jas lengkap, dengan mantap dan lancarnya dia mengulang kata-kata yang diucapkan oleh wali mempelai wanita. Ijab Kabul pun selesai, kini tiba waktunya mempelai wanita menemui suaminya. Kok aku yang penasaran yah? Seperti apakah dia? Astagfirullah. Dia sudah sah menjadi istri sahabatmu sendiri, Dhil. Batinku mengingatkan.
“Cie… cie..” sindiran para keluarga menarik perhatianku yang sejak tadi baru kusadari aku hanya menunduk sedih. Dengan berani aku menyaksikan kedua pasangan di depanku bersalaman. Tapi.. tunggu.. kenapa hati ini sedikit senang, dan merasakan kebahagiaan yang tiba-tiba menyulusup di hati. Kulihat mempelai wanita yang sekarang memeluk mesra tangan sahabatku, ternyata dia bukanlah bidadari hatiku. Alhamdulillah.. haruskah aku berteriak bahagia untuk mengekspresikan kebahagiaan ini. Tapi aku akan disebut orang gila, bahkan sahabatku yang sedang berbahagia pun tidak seekspresif diriku.
Pokoknya hatiku merasakan kelegaan yang sangat, ternyata kegundahanku selama seminggu ini tidak menentu. Aku menganggap bahwa sahabatku akan menikah dengan bidadari hatiku hanya mengetahui satu kata dari nama itu saja, bahkan aku tidak mau menghiraukan apa nama kepanjangannya, sehingga aku sudah gila dibuat dengan cinta diam-diamku ini. Astaghfirullah..
“Selamat sobat, aku turut bahagia.” Tulus kuucapkan itu pada sahabatku saat aku menemuinya di pelaminan.
“Wuihh.. wajahmu berseri-seri, ada apa nih sob? Oh iya Jazaakumullah khair ya atas bantuannya..”
Aku mendekap erat dia dan kulantunkan doa untuknya agar keluarga barunya menjadi sakinah, mawaddah, wa rahmah..
“Doakan aku cepat menyusulmu.” Bisikku di telinganya.
“Aamiin.. insya Allah.. Jazaakallah khair..”
***
“Dhil, gimana kabar bidadari hatimu? Apa kamu sudah berniat untuk mengkhitbahnya? Kalau sudah dikhitbah orang lain baru tahu rasa loh..” Dhani mengajakku mengobrol di selasar masjid kampus sepulang bimbingan skripsiku. Kini sudah satu tahun usia pernikahannya, dan setelah kejadian di acara walimahannya itu aku langsung menceritakan semuanya. Dia bahkan sampai tertawa terpingkal-pingkal mendengar ceritaku, katanya aku ini parno hanya dengan melihat nama depannya saja. Hehe, iya juga sih. Sampai saat ini dia terus menyemangatiku, bahkan di tingkat akhirku ini, tanpa gentar dia terus memanasiku untuk segera memberanikan diri memperjuangkan cintaku. Bangun cinta, katanya.
“Insya Allah, Dhan. Setelah bab terakhir skripsiku selesai aku akan mengkhitbahnya dengan meminta bantuan Kang Fauzan.”
“Cepetan loh, ibadah itu harus disegerakan. Nanti dia keburu dilamar orang lagi, jatuh cinta lagi deh. Kapan mau bangun cintanya kalau dinanti-nanti.”
Akhirnya atas usul Dhani beberapa hari yang lalu dan setelah menempuh perjuangan menyelesaikan skripsiku, kini aku memberanikan diri meminta bantuan Kang Fauzan untuk mekhitbah bidadariku.
Setelah ngobrol kesana kemari, akhirnya aku langsung pada poin intinya.
“Kang, mengingat usia ana yang sudah pantas untuk menyempurnakan agama, sekarang ana mau meminta bantuan akang.”
“Wah, insya Allah, Dhil. Akhwat mana yang ingin antum khitbah? Nanti ana minta bantuan istri ana juga.”
“Ekhem.. bismillahirrahmanirrahim, ana ingin mengkhitbah ukhti Siti Fauziah Alifah.” Dengan melawan rasa tegang akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutku, dengan lancar aku bisa menyebutkan nama lengkapnya setelah aku berusaha meminta bantuan dari adikku yang sholehah. Dengan perasaan dag–dig-dug tak karuan aku menunggu respon Kang Fauzan.
“Ahlan wa sahlan, akhi..” dengan wajah yang berseri Kang Fauzan menjabat tanganku erat. Dengan perasaan bingung aku pun menanyakan apa maksud pernyataannya barusan.
“Apa maksudnya kang?”
“Sudah lama ana menantikan pernyataan antum barusan. Adik ana pasti senang mendengarnya.”
“Maksud akang apa? Adik?” wah, otakku masih belum memberikan respon positif karena ketidakjelasan masalah ini. Apa yang dimaksudnya dengan “adik ana”?
“Oh afwan, sepertinya antum belum tahu kalau Fauziah adalah adik ana. Dia kuliah di sini juga, seangkatan dengan antum kan? Ana sudah tahu kalau antum menyukai dia. Makanya tahun kemarin ana memancing antum, tapi sepertinya antum terlalu kaget dengan nama yang ada di undangan Dhani. Iya kan?”
“Jadi Fauziah adiknya kang Fauzan? Tapi waktu itu ana mendengar kalau akang melamar Fauziah? Dan hasilnya lamaran itu ditolak.”
“Hahaha.. Gosip itu ternyata bukan hanya di kalangan artis juga ya, di kalangan pengemban dakwah juga senang menggosip. Afwan, sepertinya ada yang harus ana luruskan. Ana dan Fauziah adalah adik dan kakak kandung. Ketika antum mendengar ana melamar dan Fauziah dilamar pun tidak salah, keduanya benar, namun ana melamar orang lain, dan Fauziah dilamar orang lain pula. Mungkin di kampus ini tidak banyak orang yang mengetahui Fauziah adik ana, karena memang itu kemauannya Ziah, dia tidak mau dikenal karena adik ana, dia hanya ingin dikenal dengan pribadi yang biasa, ya seperti dia yang sebenarnya. Jadi jangan terlalu dipikirkan oleh antum, atau mungkin karena gosip itu antum jadi enggan mengenal Ziah?”
Aku menduduk malu, oh ternyata…
“Iya kang, Afwan..”
“Sudahlah, yang terpenting saat ini ana bangga antum sudah memberanikan diri untuk mengkhitbah Ziah melalui orang yang tepat. Ana pribadi menyetujuinya, tapi keputusan sepenuhnya ada di pihak Ziah. Antum ingin menunggu berapa lama?”
“Ah akang ini, sebaiknya jangan terlalu lama. Kalau terlalu lama menunggu, ana semakin tidak tenang. Tapi semantapnya Fauziah memberikan jawabannya saja, insya Allah ana siap mendengarkan apapun jawabannya. Itu jawaban yang terbaik untuk ana.”
“Baiklah, insya Allah kita bertemu di sini tiga hari lagi. Ok, akhi, masih ada yang ingin antum sampaikan?”
“Tidak kang, Jazaakallah khair sebelumnya.”
“Wa iyyakun, ana pamit dulu. Istri ana sudah memanggil,hehe.. assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam..” hawa sejuk menyelusup ke dalam kalbu, dingin rasanya. Yaa Rabb inikah rasa tenang dan damai karena cinta-Mu?
***
“Assalamu’alaikum. Akh sedang apa?” kang Fauzan merangkulku hangat, dekapan ukhuwah saudara. Aku langsung menjabat tangannya erat.
“Wa’alaikumussalam.. khaifa haluk?”
“Bi khair, wa antuna?”
“Alhamdulillah baik juga, ada apa kang? Tumben hari ini ke kampus?”
“Antum lupa ya, hari ini ana mau memberikan jawaban yang diberikan Ziah.”
“Oh iya, afwan kang. Untung ana masih di kampus. Gimana kabarnya Zi..ah?” ah, aku masih gugup mengucapkan nama panggilan kesayangan kakaknya.
“Alhamdulillah sehat, jangan gugup akhi..” dia tersenyum hangat. Lalu dia melanjutkan kata-katanya, “Setelah ana mengatakan maksud antum padanya, dia pun meminta waktu untuk shalat istikharah. Dan pagi tadi akhirnya dia memberikan jawabannya...”
Aku dengan sabar menantikan setiap kata yang akan diucapkan Kang Fauzan disertai keringat dingin yang tiba-tiba muncul di sekitar tanganku.
“Alhamdulillah akhi, dia menerima lamaranmu..” kang Fauzan langsung mendekapku erat. Pelukan seorang kakak untuk adiknya. Alhamdulillah, Allahu Akbar. Inikah perasaan yang sama dirasakan oleh Ali ketika lamarannya untuk Fathimah diterima oleh Rasulullah saw.?
***
Bandung, 15 November 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H