Mohon tunggu...
Hashifah Khoirunnuha
Hashifah Khoirunnuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Budidaya Burung Perkutut, Kenapa Tidak?

16 Desember 2021   08:20 Diperbarui: 16 Desember 2021   08:26 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Salah satu satwa dari kelas aves yang dapat dibudidayakan karena memiliki beberapa  manfaat terutama agar dapat meningkatkan penghasilan yaitu burung perkutut (Geopelia striata). Burung perkutut merupakan hewan dengan ordo Columbiformes, berasal dari famili Columbidae dan dari genus Geopelia (Rahmadina, 2018). Ciri dari burung perkutut yaitu memiliki tubuh yang ramping dan panjang dengan ukuran sedang. Pada ekornya, ukuran yang dimiliki pendek dari panjang tubuhnya dengan bentuk kepalanya yang bulat. Kebanyakan burung perkutut bisa ditemui sedang terbang atau bertengger di daerah kebun atau ladang yang jarang dilewati manusia (Kamal et al., 2016). Pakan yang dikonsumsi burung perkutut biasanya adalah biji-bijian. Kelebihan dari pembudidayaan burung perkutut adalah mampu berkembangbiak di kandang yang relatif kecil dan kelebihan pada suaranya yang dikenal merdu. Waktu untuk burung perkutut berkembangbiak biasanya pada pertengahan Februari hingga akhir bulan Mei, namun ketika sudah dalam pemeliharaan intensif waktu tersebut dapat berubah.

Burung Perkutut merupakan salah satu jenis burung yang banyak dijadikan hewan peliharaan manusia karena memiliki kicau atau suara yang indah dan merdu. Jika dilihat dari nilai kegunaanya, burung perkutut memiliki beberapa manfaat yang meliputi manfaat ekonomi, manfaat kebudayaan, dan manfaat fancy atau keindahan. Manfaat ekonomi burung perkutut berasal dari proses jual beli burung perkutut yang dapat dilakukan secara bebas karena berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, spesies burung perkutut tidak dimasukkan dalam daftar spesies dilindungi dan International Union for Conservation of Nature (IUCN), sehingga peluang bisnis burung perkutut masih sangat besar, karena peternak dapat melakukan proses jual beli burung secara bebas tanpa menggunakan perizinan apapun dari pihak terkait. Dengan harga jual yang tinggi serta adanya peluang bisnis yang masih sangat besar tersebut, menjadikan burung perkutut memiliki manfaat ekonomi yang sangat baik (Huzangi dan Astuti, 2020).

Manfaat kebudayaan burung perkutut berasal dari anggapan masyarakat bahwa burung perkutut merupakan binatang yang sakral. Hal ini didasarkan pada sebuah cerita menurut (Sanjaya et al., 2017) bahwa pada zaman kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V memiliki burung perkutut yang merupakan jelmaan dari Pangeran Padjajaran bernama Joko Mangu, sehingga berdasar cerita tersebut, keberadaan burung perkutut menjadi sakral khususnya ditanah Jawa. Selain itu, burung perkutut juga menjadi salah satu simbolisme bagi masyarakat Jawa, dimana burung perkutut merupakan salah satu dari lima syarat yang harus dimiliki laki-laki Jawa, yaitu turangga (kuda), curiga (senjata), wisma (rumah), wanita (istri) dan kukila (burung perkutut) (Rachmat dan Yuniadi, 2018). Adapun manfaat keindahan dari burung perkutut berasal dari kesenangan masyarakat yang menilai keindahan burung perkutut dari segi suara dan bulunya, sehingga burung perkutut memiliki value keindahan (Sanjaya et al., 2017). Dengan adanya value atau manfaat keindahan tersebut, burung perkutut seringkali dijadikan sebagai objek dalam seni lukisan.

Kegiatan budidaya perkutut memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Salah satu keunggulannya yaitu banyak diminati masyarakat karena dipercaya dapat mendatangkan rezeki bagi pemilik. Menurut Iskandar (2014), orang Jawa memandang burung perkutut sebagai pembawa keberuntungan dan melakukan pemeliharaan burung ini merupakan tradisi yang dijalankan secara turun temurun. Selain keunggulan dari nilai budaya, burung perkutut juga digemari karena keindahan bulu dan suaranya. Disisi lain, budidaya burung perkutut memiliki kelemahan berupa modal yang cukup besar. Modal yang dibutuhkan meliputi modal awal untuk budidaya seperti  untuk membangun kandang dan pembelian bibit, selain itu biaya pakan sehari-hari juga cukup tinggi.

Budidaya burung perkutut saat ini memiliki peluang yang cukup besar dan menjanjikan. Huzangi dan Astuti (2020) meyatakan bahwa budidaya perkutut merupakan salah satu bisnis dengan peluang yang baik dan menjanjikan untuk ditekuni. Belum terdapat banyak pesaing dalam usaha ini, serta dalam proses budidaya tidak memerlukan perizinan karena burung perkutut tidak termasuk satwa yang dilindungi. Selain itu, pemasarannya dinilai cukup mudah dengan memanfaatkan berbagai media sosial, ajang perlombaan, maupun melalui komunitas pecinta burung.

Ancaman yang ditemui pada budidaya burung perkutut meliputi tiga aspek yaitu harga jual yang tinggi, penyakit dan distribusi. Harga jual tinggi menyebabkan konsumen hanya terbatas pada kalangan menengah keatas. Ancaman selanjutnya berupa penyakit yang tiba-tiba menyerang burung perkutut, terutama terjadi saat musim penghujan. Penyakit yang menyerang burung dinilai merugikan karena adanya pembengkakan biaya untuk pengobatan dan resiko kematian yang tinggi. Menurut Hartono dan Oyama (2020) penyakit yang sering menyerang burung perkutut yaitu kolera, koksidosis, pullorum, cacingan dan stres. Untuk mengurangi ancaman dari penyakit dapat dilakukan dengan pemberian vitamin secara rutin pada burung perkutut. Selain harga jual dan penyakit, proses distribusi burung perkutut juga dapat menjadi ancaman tersendiri pada kegiatan budidaya. Proses pendistribusian yang terlalu panjang atau lama dapat menyebabkan kualitas burung menurun dan menjadi stres. Untuk menangani hal tersebut, pelaku budidaya perkutut dapat meminimalkan risiko dengan menyediakan pakan pada saat proses distribusi dan menutupi kandang perkutut dengan kain.

Disusun oleh : Istianah, Alfina Nurul Fauziah dan Hashifah Khoirunnuha

Daftar Pustaka

Hartono, T dan S. Oyama. 2020. Identifikasi penyakit burung perkutut menggunakan forwaard chaining. J. Ilmu Komputer. 7(1): 23-34.

Huzangi, A. dan P. B.  Astuti. 2020. Pengaruh word of mouth kelompok acuan, dan life style terhadap keputusan pembelian. J. Ilmiah Mahasiswa Manajemen. 2(6): 910-926.

Iskandar, J. 2014. Dilema antara hobi dan bisnis perdagangan burung serta konservasi burung. J. Chimica et Natura Acta. 2(3): 180-185.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun