Apa yang sedikit tetapi mencukupi lebih baik daripada banyak tetapi melalaikan.(HR. Abu Dawud)
Media memang menyuguhkan beberapa hal informasi, seperti berita politik, social, ekonomidan lain sebagainya. Seperti juga penawaran iklan tentang berbagai produk yang secara sadar maupun tidak telah membius masyarakat. Kaum remaja yang masih diliputi jiwa yang labilmenjadi sasaran utama para produsen produk-produk terkenal ini. Tidak mengherankan jika budaya konsumtif yang sebelumnya sudah melekat dalam diri bangsa ini dikuatkan lagi dengan budaya hedonisme. Globalisasi dalam segala aspek menjadi magnum opusnya (cikal-bakal_red). Siklus kehidupan yang seperti ini seakan menjadi suatu pola baru dan gaya hidup baru. Hedonism sendiri adalah pandangan yang menganggap kesenangan da kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup. Sebuah kebiasaan yang ternyata realitanya menghancurkan tatanan masyarakat yang ada. Coba lihat kesenjangan social yang terjadi dimana-mana sudah menjadi fenomena yang wajar. “Si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin”, begitulah ungkapannya.
Kemunculan budaya hedonism ini terjadi tanpa kita sadari seiring dengan gerak zaman yang semakin modern. Gaya hidup yang glamor semakin digandrungi oleh para remaja, seakan ada istilah “ga style itu ga zaman gan !!”. Mereka-mereka yang sudah tergila-gila dengan budaya konsumtif akan rela melakukan apa saja demi memenuhi hasratnya. Seperti perburuan akan fashion terbaru, jam tangan merek ternama, sepatu, dan bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tak luput menjadi saksi bisu budaya ini. Keinginan hidup seperti borjuis memang menjadi daya tarik tersendiri, seperti Raja atau bangsawan pada masa lalu. Pada masa itu prestise sangat mempengaruhi terhadap penilaian masyarakat, tentang statusnya, kemewahannya dan tentunya kekuasaan yang sedang ia emban. Raja, bangsawan dan rakyat pun saling berlomba menunjukkan ciri khas masing-masing, dalam hal budaya tentunya. Seorang raja tentunya identik dengan kemewahan yang bergelimang, dia punya budaya sendiri yang kebanyakan sering ditiru oleh kelas bawanya entah bagaimana pun caranya.
Keinginan menjadi yang terbaik, be the best, memang hal yang bagus, akan tetapi jikaselama masih diterima oleh logika. Terkait dengan budaya hedonism ini tidak kita pungkiri, mereka berlomba-lomba menjadi number one. Hal tersebut sebenarnya dapat dikikis apabila remaja mau berpikir logis dan rasional terhadap gencarnya iklan dan globalisasi zaman yang semakin modern. Sadar terhadap trik dan intrik politik yang dimainkan oleh para kaum kapitalis pada umumnya dan para investor secara khusus sebagai pemasang iklan yang mempengaruhi konsumsi public. Remaja adalah masa dimana pemikiran logis, rasoinal dan juga realistis kadang belum begitu bermain. Kesenganan dan kenikmatan hidup seperti yang dianut kaum hedonis memang menggiurkan. Perlawanan terhadap pola pikir public menjadi kunci utama, sebab budaya ini (hedonism) sudah memasyarakat.
Dapat sedikit ditelisik berbagai factor penyebab kemunculan budaya hedonism.Pertama adalah sikap Individualisme atau sikap egois yang tinggi. Adanya sikap ini wajar munculnya karena manusia adalah makhluk invidu tapi bersosial. Maksudnya manusia itu mempunyai pola pikir individualistis, namun mereka tidak dapat hidup sendiri. Mereka bersosial akan tetapi hanya dengan keluarganya, komunitasnya, golongannya dan sebagainya. Adanya sikap ini membuat para penikmat budaya hedonisme membelanjakan uangnya untuk kepentingan sendiri, tidak untuk bersosial. Hal ini adalah penyebab semakin membengkaknya jurang antara si kaya dan miskin. “duit-duit gue, terserah dong mau gue apain”, ucap seorang hedonis seraya menyingkiri pengemis di depan sebuah pusat perbelanjaan.
Penyebab kedua adalah sifat psikologi dari remaja. Maksudnya mereka yang memiliki kekurangan dalam berbagai hal, maka dari itu muncul keinginan untuk menutupi kekurangannya supaya terlihat lebih dengan hal tersebut. Misalnya saja bersaing dalam hal berpakaian. Akan tetapi sebab kedua ini tidak mutlak begini, style yang sedang berkembang pada saat itu juga mendorong untuk segera mengikutinya. Selain itu perasaan cinta terhadap lawan jenis, membuat para remaja tampil extraordinary, dan dapat tampil lebih matching. Hal yang terakhir adalah sikap materialisme yang tinggi. Perasaan cinta pada uang dan materi yang berlebih membuat para remaja membelanjakan uangnya sesuka hati. Motifnya hanya supaya demi tercapainya status sosial yang tinggi dan membuat mereka sedikit dihargai oleh masyarakat disekitarnya.
Kebuadayaan hedonisme yang sudah menggejala dan mengakar begitu kuat membuat pemerintah dan masyarakat semakin prihatin. Ketakuatan tumbuhnya budaya hedonisme ini juga dirasakan oleh para pendidik. Himbuan-himbuan dari berbagai media, baik elektronik maupun cetak telah sering dipaparkan untuk meminimalisir budaya hedonisme ini. Adanya ketakutan dari berbagai pihak, seperti pemerintah dan sekelompok kalangan ini memang cukup berdasar. Pasalnya, budaya tersebuat sampai saat ini entah sadat atau tidak, hal ini sudah membudaya. Akan tetapi jumlah prosentase remaja yang tidak sadar adalah sebagian besar, dengan pertimbangan salah satunya banyaknya produk-produk yang laku keras, konsumen utamanya tidak lain adalah remaja.
Keinginan untuk merubah tatanan masyarakat yang sudah terlanjur skeptic dengan keadaan ini membuat mereka sulit untuk menerima perubahan lain. Hedonism sudah menjadi semacam kultur masyarakat Indonesia, termasuk para remajanya. Jiwa-jiwa remaja yang ingin selalu cederung tampil lebih baik dalam segala hal termasuk gaya yang tampak, style. Apakah mungkin jika para remaja tersebut tiba-tiba tersadar, kemudian berpaling dari budaya hedonisme yang sudah melekat ?.Entah sampai kapan jiwa dan perilaku ini akan menguasai mereka? Jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing, apakah kita mau setidaknya mengikis hal ini, dan tidak menutup mata akan lingkungan sekitar yang ternyata masih membutuhkan bantuan kita. Faktanya banyak sekali celah-celah kehidupan ini supaya kita dapat berfikir rasional intelektual, bertindak positif sebagai pribadi yang religious dan kreatif. Berpegang teguh pada tali agama dan mencobadiaplikasikan secara nyata. Namun, memang harus kita pahami dan tidak bisa kita pungkiri, keberadaan kaum hedonis ini memang ada dan nyata. Mau tidak mau kita pun juga memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang kita kehendaki, tapi tentu dengan segala konsekuensinya. Siapa yang menanam, dia menuai ! !
Sumber : http://hasbymarwahid.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H