Yogyakarta dekade 1800-1930-an; Sebuah Pengantar Singkat
Yogyakarta merupakan daerah dengan karakteristik historis yang berbeda dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Sebelum kemerdekaan, Yogyakarta merupakan daerah swapraja yang berbentuk kerajaan. Secara historis berawal dari kota istana atau kota keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1756 pasca terjadinya peristiwa Palihan Nagari atau pembagian dua kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) tahun 1755 hasil dari perjanjian Giyanti.[1] Pembagian dua kerjaan ini tidak hanya menyangkut tanah dan rakyat akan tetapi pembagian tanda-tanda kebesaran seperti lambang kekuasaan dan pusaka raja. Posisi raja dalam kekuasaan Jawa berlangsung turun temurun yakni mempunyai kekuasaan yang sentral dan absolut.[2] Dengan kedudukan sentral Sultan tersebut maka pemerintahan kerajaan diatur secara terpusat dengan sifat yang otokratis. Melihat hal tersebut, Sultan merupakan sumber satu-satunya dari segenap kekuasaan, kekuatan dan pemilik segala sesuatu di dalam kerajaannya. Konsep kerajaan Jawa ini berada pada satu lingkaran konsentris yang mengelilingi Sultan sebagai pusatnya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakui daerah-daerah semi-otonom yang memiliki hak pemerintahan sendiri, dikenal dengan sebutan Zelfbesturende Landschappen atau daerah swapraja (daerah otonom/daerah istimewa). Wilayah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti Kasunanan, Kasultanan, Kerajaan, dan Kadipaten. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya.
Secara administratif, wilayah Yogyakarta banyak mengalami perubahan dan penyusutan wilayah. Hal ini dikarenakan campur tangan pemerintah kolonial karena pelbagai keadaan yang terjadi pada saat itu. Mulai dari adanya pembagian wilayah dengan Paku Alam tahun 1811 sampai dengan adanya Java Oorlog (Perang Jawa 1825-1830). Wilayah Yogyakarta meliputi Mataram, Gunung Kidul, dan Wilayah Surakarta meliputi Pajang dan Sukowati (Sragen).[3] Pada perkembangannya wilayah Yogyakarta mengalami penyusutan wilayah lagi. Wilayah Yogyakarta dibagi menjadi enam kabupaten yakni Kulon Progo, Mataram/Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kalasan, dan Gunung Kidul.[4] Pada tahun 1927, Sultan Hamengkubuwana VIII mengubah pembagian dan nama wilayah administratifnya menjadi Yogyakarta, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo.[5] Menurut sensus yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930, jumlah penduduk di Yogyakarta sebanyak 1.559.027 orang yang terdiri penduduk Inlander (pribumi) 794.544 orang laki-laki dan 789.324 orang wanita; penduduk bangsa Eropa 7.317 orang, dan penduduk Tionghoa sebanyak 12.640 orang.[6]
Yogyakarta pada periode 1900-1930 bertambah hampir separuh dari jumlah populasi awal, sebuah peningkatan yang cukup signifikan. Penduduk pribumi, khususnya Jawa, mendominasi dengan kisaran persentase 98% dari total penduduk di seluruh wilayah Kesultanan dan hampir 90% di wilayah Kota Yogyakarta. Jumlah penduduk Eropa sangat kecil, meski demikian merekalah yang mendorong perubahan dalam ketatakelolaan pertanahan Yogyakarta baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hampir seluruh penduduk Eropa, yang sebagian adalah pegawai perusahaan perkebunan ataupun jasa lain yang berkaitan dengan perkebunan, tinggal di Kota Yogyakarta. Penduduk Eropa meningkat menjadi 7.317 orang pada tahun 1930, dan antara tahun 1920-1930, lebih dari 400 rumah baru didirikan untuk orang-orang Eropa.[7] Hal ini menunjukkan pluralitas penduduk Yogyakarta yang terbangun sejak masa kolonial sampai pasca kemerdekaan. Kedatangan bangsa asing ini tidak lepas dari sistem ekonomi yang dibangun pada masa kolonial yakni pada awal abad ke-20, di mana di Yogyakarta banyak terdapat perusahaan perkebunan swasta dan sektor jasa lain yang terkait dengan perkebunan.[8]
Penghujung abad ke-19 menjadi periode emas dari Keraton Yogyakarta. Pasalnya, pada saat di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII (1877-1921) membuka luas kesempatan investasi industri. Tahun-tahun 1900-an, pengusaha Eropa juga mengincar komoditi unggulan yang sedang laku dipasar dunia seperti kopi, indigo, tebu hingga tembakau untuk dikembangkan di Yogyakarta karena termasuk daerah vorstenlanden. Wilayah vorstenlanden dibebaskan dari kebijakan sistem tanam paksa karena di Yogyakarta berlaku hukum tanah dengan sistem apanage yang berbeda dengan daerah lain di Jawa.[9] Hal yang nampak jelas selanjutnya adalah kebutuhan akan tanah dan tenaga kerja untuk mengisi sektor tersebut. Hasilnya di tanah swapraja ini berdiri 33 perusahaan perkebunan dan 19 pabrik gula yang mendongkrak perekonomian pelbagai pihak pada saat itu. Lebih dari 80 persen lahan pertanian dikonversi menjadi perkebunan dan sekaligus dengan sawah serta pemiliknya.[10] Keadaan ini membawa banyak petani dan migran lokal sebagai pekerja yang dibayar. Sekitar 60.000 orang terlibat sebagai tenaga upahan musiman maupun permanen.[11] Jadi, hampir sebagian besar penduduk Yogyakarta terserap sebagai tenaga kerja di industri tersebut.
Perlu diketahui bahwa pada dekade 1800an sampai dengan 1900-an, Yogyakarta berdiri pelbagai macam perusahaan dan pabrik-pabrik, mulai dari gula, tembakau, rosela, nila, serat dan sebagainya. Akan tetapi yang paling mendominasi adalah pabrik gula. Akan tetapi setelah dikeluarkannya Undang-undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) pelbagai perusahaan semakin banyak yang berinvestasi di Yogyakarta. Kebijakan ini pada dasarnya untuk mengatur hak dasar kepemilikan tanah bagi pribumi dan juga terkait dampak adanya tanam paksa (cultuurstelsel). Selain itu, kebijakan ini juga menjadi tonggak awal liberalisasi ekonomi yang berdampak luas ke depannya karena memberikan hak-hak yang luas kepada para pengusaha swasta.
Sebagai daerah swapraja, para pemegang tanah lungguh diperkenankan menyewakan tanahnya kepada orang asing dan diberikan hak-hak secara resmi sebagaimana pemegang tanah lungguh tersebut. Seperti menarik pajak dan untuk mendapatkan tenaga kerja wajib dari para pemilik tanah. Jangka waktu sewanya pada awalnya 20 tahun kemudian diperpanjang menjadi 30 tahun.[12] Pada awalnya para petani cukup senang karena dibebaskan dari pajak dan sebagai gantinya mereka harus mengikuti sistem gelabagan untuk mengadakan giliran penanam tebu dan padi di atas tanahnya. Apa yang sesungguhnya diinginkan dari industri gula ini adalah kerja wajib di atas tanahnya sendiri sesuai dengan perusahaan gula tersebut. Industri gula membutuhkan tanah yang paling subur dan irigasi yang baik, maka mereka memilih daerah persawahan di Sleman, Bantul, dan sebagian di Adikarto (Kulon Progo).
Peta diatas menunjukan bahwa begitu banyaknya perusahaan gula yang beroprasi di Yogyakarta. Pabrik Gula (P.G) Barongan merupakan yang tertua di Yogyakarta karena beroprasi mulai tahun 1860. Sedangkan yang paling muda adalah P.G Sendangpitu yang mulai beroprasi pada tahun 1922. Sejarah dari pabrik gula ini pada mulanya merupakan pabrik pengolahan nila menjadi pewarna tekstil. Dari 19 pabrik gula yang ada di Yogyakarta. Sebanyak 10 pabrik pada awalnya dibangun sebagai pabrik pengolahan nila. Namun, pada akhir abad ke-19, harga nila turun drastis karena ditemukan pewarna sistesis yang lebih praktis dari Jerman.[13] Kondisi ini yang menyebabkan sejumlah perusahaan pengolah nila beralih ke industri gula yang menguntungkan. Perusahaan gula ini sebagian besar menyewa tanah milik kraton Yogyakarta dan hanya 1 yang berada di tanah milik Kadipaten Pakualaman yakni P.G Sewu Galur.
Industri ini memiliki dua sisi yang berbeda yaitu perkebunan penanaman tebu dan pabrik pengolahan tebu yang keduanya saling mendukung. Industri gula tebu milik swasta yang beroprasi di Yogyakarta ini menanam tebu sendiri di tanah yang mereka sewa dan digiling menjadi gula di pabrik-pabrik gula mereka. Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, sebuah pabrik gula biasanya dikelola oleh seorang manajer Belanda (administrateur) dengan bantuan stafnya (sinder/ opziener) yang terdiri 20-25 orang Belanda. Orang-orang Jawa yang bekerja di bawah orang-orang Belanda tersebut berjumlah sekitar 250-300 orang pada musim sepi dan bisa mencapai 800-1000 orang pada musim giling.
Selain itu, banyak para pekerja mencari kesempatan pekerjaan upahan di pabrik-pabrik gula dan menciptakan pergeseran perekonomian non-pertanian dengan munculnya jenis-jenis pekerjaan baru yang melayani kebutuhan pada sektor-sektor tersebut. Sebagai pembanding, pada tahun 1930an terdapat sekitar 273.060 orang yang hidup dari sektor pertanian, dan 163.397 orang yang bekerja di sektor industri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta tidak hanya hidup dari pertanian baik dalam industri tebu maupun tembakau, akan tetapi terdapat pelbagai macam sektor industri yang berkembang pada saat itu. Antara lain seperti industri batik, pertukangan, garam, tenun, perak, dan sebagainya.[14]