Revolusi industri 4.0 telah menjadi perbincangan hangat tahun ini. Perubahan pada sektor produksi yang semakin canggih serta pemanfaatan teknologi informasi telah memberikan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi para pelaku ekonomi.Â
Pada sisi konsumen, hal ini telah memberikan banyak sekali kemudahan untuk pemenuhan utilitas mereka dan mengakibatkan peningkatan pada permintaan. Tentu potensi ini perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk industri halal dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai pusat Eksyar (Ekonomi Syariah) dunia.
Produk halal telah menjadi gaya hidup masyarakat karena produk yang bersertifikasi halal diyakini terjamin keamanan dan manfaat produknya.Â
Total belanja masyarakat muslim dunia pada tahun 2017 di berbagai sektor halal seperti makanan minuman, farmasi dan kosmetik, busana dan wisata, media hiburan, dan keuangan syariah mencapai USD 2,1 triliun dan Global State of Islam Economic memperkirakan, permintaan produk halal global tumbuh 9,5% tahun ini atau bertambah sekitar USD 3,7 triliun. Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, berkontribusi sekitar 10% dengan membelanjakan sekitar USD 214 miliar pada 2017.Â
Namun dari sisi ekspor, kontribusi produk halal Indonesia masih belum signifikan, baru 3,8% dari total pasar halal dunia. Dan menurut Global Islamic Economy Indicator, Indonesia menempati urutan kesepuluh dalam peringkat negara-negara produsen produk halal, sedangkan urutan pertama diduduki oleh Malaysia.
Kendati demikian, Indonesia berhasil meraih peringkat pertama wisata halal dunia versi Global Muslim Travel Index (GMTI) dan menjadi kiblat fashion muslim dunia. Artinya Indonesia masih memiliki prospek besar untuk "menggurita" di pasar dunia.Â
Menurut Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), ada enam sektor yang harus diprioritaskan yakni makanan dan minuman, pakaian, wisata halal, hiburan dan media, farmasi serta kosmetik. Agar mampu berkembang lebih pesat maka harus ada integrasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, pelaku industri halal serta stake holder terkait. Integrasi ini dapat direalisasikan melaui empat langkah strategis.
Pertama, pemerintah perlu menyusun road map pengembangan industri halal. Peta ini menjadi penting sebagai guideline bagi pemerintah, pelaku industri halal serta stake holder terkait yang terlibat dalam industri ini. Di dalamnya akan mencakup hal-hal seperti strategi pengembangan sektor-sektor andalan, aspek hukum, riset, standarisasi, maupun infrastruktur yang akan mendorong perkembangan industri halal.Â
Dalam hal ini, alhamdulillah Indonesia telah memiliki Indonesia Halal Economy and Strategy Roadmap serta Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Hal ini didukung dengan terbentuknya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada tahun 2016 sebagai wadah koordinasi, sinkronisasi dan sinergi arah kebijakan dan program strategis pembangunan nasional di sektor keuangan syariah.
Kedua, percepatan penyusunan regulasi terkait industri halal terutama non-keuangan. Di tengah perkembangan dan persaingan industri halal global, melalui regulasi-regulasi, pemerintah harus responsif melihat peluang dan mendorong pelaku usaha dalam negeri agar bisa bersaing dan menembus pasar internasional. Selain itu, penciptaan iklim usaha yang baik juga akan menarik investasi yang besar. Karena tidak dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur industri halal, misalnya zona industri halal memerlukan investasi yang besar.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah salah satu contohnya. Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) serta mewajibkan seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal.