Jika membaca lowongan kerja, kita sering menemui kriteria 'mampu bekerja di bawah tekanan'. Kriteria ini menunjukkan, bekerja adalah perintah, bukan kesenangan apalagi kebahagiaan. Maka tak heran jika banyak pegawai yang bekerja dengan ogah-ogahan, harus diperintah atau bahkan ditunggui mandor.
Rekrutmen ini menghasilkan pegawai yang rajin mengeluh, dan tak punya gairah bekerja kecuali menjelang gajian. Jika kita merekrut pegawai baru dengan kriteria semacam ini, maka kita telah melakukan kesalahan dini; menempatkan manusia menjadi mesin yang bisa ditekan.
Dalam pengelolaan perusahaan yang berkualitas, aspek manusia tak pernah ditempatkan laksana mesin. Banyak perusahaan maju, yang menempatkan manusianya sebagai aset terpenting. Jim Collins, penulis buku bisnis Good to Great menilai, aspek manusia lebih utama dari pada aspek lainnya. Jika dalam penulisan kita kenal 5 W (What, Where, Why, Who & When), Collins menunjuk Who sebagai yang harus diprioritaskan. 'First Who, then What'. “Yang penting orangnya, baru yang lain.”
Ibarat sekolahan, sebagus apapun fasilitasnya, setinggi apapun standarnya, secanggih apapun kurikulumnya, jika gurunya tak berkualitas maka siswa yang dihasilkan kualitasnya tak akan jauh beda. Bayangkan, jika guru bekerja di bawah tekanan, pelajaran apa yang mereka ajarkan? Siswa macam apa yang mereka didik?
Jika aspek manusia menjadi utama, maka hal-hal terkait manusia menjadi prioritas. Keterbukaan, keleluasaan dan kegembiraan pegawai sudah menjadi hal yang harus dibahas sejak awal. Kita sering membaca, bagaimana Google, Facebook, LinkedIn dan perusahaan teknologi lainnya bisa berkembang dengan pesat. Salah satu kuncinya adalah kegembiraan. Mereka mengelola bagaimana agar para pegawainya bisa bekerja dengan gembira.
Setiap pekan, ada tanya jawab yang disebut AMA alias Ask Me Anything. Para pegawai boleh tanya apa saja kepada bosnya. Mulai dari soal gaji, fasilitas, hingga ke mana perusahaan akan diarahkan. Dengan keterbukaan, pegawai lebih merasa dihargai. Mereka bukan hanya sekedar sekrup dari sebuah pabrik. Tapi manusia seutuhnya. Selain penghargaan, fasilitas juga mendukung kegembiraan pegawai. Tak heran, banyak fasilitasnya yang menggiurkan. Laundry, cemilan, dokter, pijat, fitnes dan lainnya, yang semuanya gratis dinikmati karyawan.
Selain itu, juga jenjang karir transparan dan equal. Dengan adanya kesamaan kesempatan, maka semua pegawai bisa bersaing dengan sehat, tanpa intrik dan politik kantor. Mereka bisa focus bekerja, mengerahkan semua kemampuannya untuk berkontribusi kepada perusahaan. Bandingkan jika intrik dan politik kantor masih kental. Sebagian energi pegawainya hanya habis untuk menggunjing, bisik-bisik, protes, dialog dengan Direktur SDM. Jika karir memang disandarkan pada kemampuan,maka energi ini bisa digunakan untuk hal yang produktif.
Di Indonesia, beberapa BUMN sudah membuka pintu jenjang karirnya. PT Jasa Marga dan PT KAI. Sugeng Priyono, yang meniti karir sejak 1981 sebagai penunggu palang pintu kereta, kini jadi Sekretaris Perusahaan. Sebuah posisi yang langsung berada di bawah Direktur Utama. Padahal, awalnya dia membayangkan karirnya hanya akan mentok sampai Kepala Daerah Operasi.
Jika pegawai bekerja dengan kegembiraan, pegawai bisa menikmati pekerjaannya. Mereka bisa produktif. Ujungnya, perusahaan bisa memetik profit. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H