Nusantara tercermin dari kekuasaan dua kerajaan besar masa Hindu-Budha, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Kebesaran Sriwijaya bukan hanya dari wilayah kekuasaannya yang begitu luas. Pada tahun 671 M, Seorang pelancong dari China, bernama I-Tsing pernah singgah di Sriwijaya. Dalam catatannya, Ia mengungkapkan, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta Budha dan Ia singgah disana selama 6 bulan untuk mempelajari Budha sebelum melanjutkan ke India.
Indonesia, negara yang kini sedang berjuang jadi negara maju, dahulu pernah digdaya dan terpandang di Asia. KedigdayaanTidak hanya Sriwijaya, Majapahit juga pernah mengukir prestasi menjadi kerajaan yang digdaya di Nusantara. Kedigdayaan Majapahit tergambarkan oleh banyaknya orang Asing yang singgah di Majapahit dengan berbagai tujuan, seperti berdagang, utusan kerajaan, bahkan mungkin saja kunjungan diplomatis dari kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Sumber tertulis yang menyebutkan keberadaan orang Asing di Majapahit, yaitu prasasti Balawi (1305 M), yang ditulis menggunakan huruf dan bahasa Jawa kuna. Dalam prasasti tersebut disinggung, bahwa Majapahit menerima banyak kunjungan orang Asing dari berbagai negara, seperti Keling, Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Cina, Campa, Mandikira, Remin, Khmer, Bebel, dan Mamban.
Selain prasati Balawi, sumber tertulis lainnya yakni Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Penyebutan orang Asing dalam kakawin Negaragarakertagama terdapat pada pupuh XV/1, yang berbunyi "...nakan/lwir ning deantara kacaya de ri narapati, tuhun/tang syangkayodyapura kimutang dharmmanagari marutma mwang ring rajapura nuniweh sinhanagari, ri campa kambojanyat i yamana mitreka satata...". Pupuh ini menyebutkan beberapa orang Asing yang mengunjungi Majapahit, antara lain Syangkayodyapura, Dharmmanagari, Marutma, Singhanagara, Campa, Kamboja, dan Yamana.
Apabila menilik kebelakang sebelum era munculnya pengaruh Hindu dan Budha, orang-orang Asing juga telah menjalin hubungan dengan Indonesia. Hal ini diungkapkan sejarawan D.G.E Hall dalam bukunya yang berjudul Sejarah Asia Tenggara, yaitu "...ketika India kehilangan jalur perdagangan logam akibat terputusnya jalur Backtria dan Siberia, India harus mengimpor logam dari Romawi. Akan tetapi, Kaisar Vespasianus (69-70) dari kerajaan Romawi tidak dapat memenuhi impor tersebut. Pada akhirnya India harus kembali mencari bahan logam, dan sampailah di Suvarnabhumi dan Suvarnadwipa". Dua wilayaha itu, menurut Ceodes diartikan sebagai wilayah Sumatera dan Jawa, suatu tempat yang memiliki kekayaan alam melimpah.
Apa yang dikatakan oleh Hall, menggambarkan bahwa sejak masa lampau bahkan jauh sebelum masehi sudah terdapat hubungan yang erat antara Indonesia dengan bangsa Asing. Hubungan erat ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan benda arkeologis seperti nekara dan kapak Dongson (kebudayaan logam) dari Vietnam. Tinggalan arekeologis ini bukti penting adanya peradaban Nusantara yang maju dengan ciri utamanya perkembangan teknologi pembuatan logam, kehidupan yang menetap, sistem pertanian dan sistem kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
J.L. Brandes meyebutkan, bahwa Nusantara sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Budha telah memiliki 10 butir kebudyaan yang maju, diantaranya wayang, gamelan, batik, pengerjaan logam, astronomi, pelayaran, irigasi, mata uang, meterum (irama) dan pemerintahan yang teratur. Dengan demikian, tidak disangsikan lagi jika bangsa ini sejatinya sudah menjadi bangsa yang besar dan maju pada masa lalu. Namun, apakah saat ini kebesaran yang dulu bisa kembali lagi?
Tentu masih menjadi tanda tanya karena bagaiamanapun bangsa ini harus menyiapkan generasi mudanya agar bisa menjadi jaya kembali di masa depan. Ini bukan pekerjaan mudah, arus globalisasi dan informasi yang kadang tidak tersaring akan menjadi tantangan terrsendiri bagi bangsa ini untuk kembali menjadi bangsa yang maju dan berperadaban tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H