Mohon tunggu...
Hasanudin
Hasanudin Mohon Tunggu... Guru - Freelance

Menyukai Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Idul Fitri 1444 H: Momentum Merawat Kebhinekaan

21 April 2023   14:32 Diperbarui: 21 April 2023   14:34 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok Moza via indonesiana.id

Penetapan 1 Syawwal 1444 H, di Indonesia terjadi perbedaan antara pemerintah dengan ormas Islam Muhammadiyah. Perbedaan ini terjadi bukan untuk pertama kalinya. Sejak 10 tahun terkahir, setidaknya terjadi perbedaan sebanyak 3 kali dalam penetapan 1 Syawwal antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Penetapan 1 Syawwal 1444 H kali ini menjadi perbedaan yang keempat kalinya, antara pemerintah dan Muhammadiyah.

Bagaimana perbedaan itu terjadi? Seringkali perbedaan ini justru menjadi ajang debat kusir oleh sebagian masyarakat dengan saling klaim kebenaran masing-masing. Perdebatan-perdebatan inilah yang tentunya harus dihindari karena bisa berdampak pada instabilitas ukhuwah Islamiyah bangsa ini.

Yang perlu dipahami, bahwa perbedaan penetapan awal bulan baru terjadi karena adanya dua perbedaan metode yang digunakan. Baik metode yang digunakan oleh pemerintah maupun muhammadiyah, keduanya sama-sama bersumber pada hukum yang jelas. Sehingga, tidak adalagi yang perlu diperdebatkan dan perbedaan ini justru menunjukkan dalamnya khasanah keilmuwan para ulama bangsa ini.

Mengutip dari laman Lampung.nu.or.id, penetapan awal puasa dan masuknya bulan baru dalam Islam terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Pertama, mayoritas dari imam mazhab arbain, menyatakan bahwa penetapan 1 Syawwal dan awal bulan Ramadhan dilakukan dengan melihat hilal (bulan baru) atau istikmal, yakni menggenapkan bulan Sya'ban menjadi 30 hari. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqoroh ayat 185, yang artinya "Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya".

Kedua, sebagian ulama, diantaranya Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa maupun Idul Fitri dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka menyandarkan pendapatnya pada firman Allah SWT dalam Q.S. Yunus ayat 5, yang artinya "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu)". Artinya dalam penentuan waktu awal puasa dan 1 Syawwal dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode rukyatul hilal (melihat hilal) dan hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal).

Dua metode di atas nampaknya juga harus didukung dengan beberapa hasil kesepakatan para ulama. Misalnya, dalam penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawwal melalui metode rukyatul hilal yang memiliki beberapa kriteria, seperti imkanur rukyat (visibilitas hilal), wujudul hilal, dan rukyat global. Munculnya kriteria tersebut adalah benntuk kehati-hatian para ulama dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan juga 1 Syawwal.

Perbedaan pendapat yang terjadi pada jumhur ulama adalah hal yang wajar. Ini menandakan kedalaman, keluhuran, serta luasnya ilmu yang dimiliki oleh para ulama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujurat: 13. Artinya "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". Ayat tersebut menjelaskan bahwa penciptaan manusia sengaja berbeda-beda, agar terjadi hubungan saling mengenal, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan hablum minannas (hubungan sesama manusia). Begitupun dengan sabda Nabi Muhammad Saw, yaitu "ikhtilafu ummati rahmatun". Perbedaan yang ada pada umatku adalah rahmat. Qaul ini semakin memperkuat bahwa perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi di kalangan manusia. Hal ini disebabkan karena setiap manusia memiliki cara, metode, serta hasil pemikiran yang bereda satu sama lainnya.

Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana memaknai perbedaan itu sebagai suatu rahmat dari Yang Maha Rahman. Memang bangsa ini sudah mempunyai sebuah semboyan Bhineka Tunggal Ika yang ditemukan dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada adab ke-14. Semboyan ini diharapkan mampu menjadi doktrin teologis bagi yang mendengarnya.  Sebab, dalam semboyan ini sudah dikatakan bahwa kehidupan yang sehat akan melahirkan suasana yang damai dan harmonis.

Lantas bagaimana sikap seorang Muslim dalam menyikapi perbedaan tersebut? Sebagai seorang Muslim yang taat, pastinya sudah memahami bahwa perbedaan penetapan awal puasa dan 1 Syawwal di Indonesia adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, supaya perbedaan (ikhtilaf) tidak menimbulkan perpecahan, haruslah dikembangkan suatu rasa toleransi yang sejati. Dengan rasa toleransi sejati tentu akan mengantarkan bangsa ini menjadi maju, beradab, dan menjadi pencapaian tertinggi dalam suatu peradaban.

Momentum idul fitri 1444 H, harus mejadi momen penting untuk memperkuat rasa toleransi dalam menjaga ukhuwah, baik ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, mupun ukhuwah basyariyah. Hal ini, akan menjadi bukti kualitas keimanan kita terhadap Al-Qur'an, sekaligus juga kualitas hubungan sesama manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Serta, demi tercapainya cita-cita kehidupan sosial-keagamaan-kebangsaan di masa depan yang lebih tertata dan berjalan dengan penuh harmoni kedamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun