Mohon tunggu...
Hasanudin
Hasanudin Mohon Tunggu... Guru - Freelance

Menyukai Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Naturalisasi, antara Nasionalisme dan Kegagalan

28 Maret 2023   09:10 Diperbarui: 28 Maret 2023   09:18 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arnold van der Vin (kiri) pemain naturalisasi pertama di timnas. Ilija Spasojevic (kanan) naturalisasi terbaru di skuad timnas PSSI/Foto: Facebook Ilija Spasojevic

Sumber: https://historia.id/

Baru-baru ini dunia sepak bola Tanah Air sedang digencarkan dengan kehadiran pemain-pemain muda berbakat keturunan campuran hasil naturalisasi. Yang tebaru adalah Justin Hubner, Ivar Jenner, dan Rafael Struick. Kemunculannya bukan tanpa sebab, keinginan untuk bermain pada level timnas dan membela negara menjadi salah satu alasan utamanya anak-anak muda ini memilih Indonesia. Selain itu, faktor  keturunan juga menjadi alasan kedua yang menjadikan mereka memilih Indonesia sebagai tanah airnya.

Secara konstitusi, seseorang mendapatkan kewarganegaraan bisa diperoleh dengan dua cara yaitu dengan azas ius soli (tempat lahir) dan ius sanguin (pertalian darah). Indonesia adalah salah satu negara yang menganut asas ius sanguin, dimana kewarganegaraan dapat diperoleh melalui pertalian darah.  

Pewarganegaraan berdasarkan ius sanguin dapat dilihat pada undang-undang nomor 12 tahun 2006. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan mengenai aturan seseorang memperoleh hak kewarganegaraan yang dalam pasal 4 point c dan d, yang berbunyi; a) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; b) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;. Selanjutnya dalam pasal 20, berbunyi Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda. Dua pasal ini dapat dianggap sebagai pasal paling kuat seseorang keturunan campuran akan memilih kewarganegaraan dengan jalan naturalisasi.

Naturalisasi kini bak jamur dimusim hujan, tumbuh subur di lahan basah bernama sepak bola dengan dalih sebagai pancingan untuk meningkatkan prestasi. Namuan apakah hal itu sudah sesuai dengan apa yang diharapkan? Sejauh ini, dilansir dari https://www.cnnindonesia.com/ sudah ada 37 orang pemain sepak bola yang dinaturalisasi menjadi WNI dan kesemuanya akan menjadi punggawa timnas berlogo burung garuda. Jangan sampai program naturalisasi ini menjadi sebuah proyek lahan basah bagi segelintir oknum untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah dari biaya naturalisasi yang mahal. Dilansir dari https://jakarta.kemenkumham.go.id/ biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang pemain untuk bisa dinaturalisasi berdasarkan pengajuan sebesar Rp. 50.000.000,-. Biaya ini telah diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Seiring berjalannya waktu, ternyata hanya segelintir saja yang bisa berhasil dalam kancah sepak bola nasional, seperti Christian Gonzales dan Stefano Lilipaly. Keduanya bertengger dipuncak teratas pemain naturalisasi tersukses, baik di level club maupun timnas. Sementara yang lainnya harus pontang-panting beradaptasi dengan sepak bola nasional yang carut marut.

Banyaknya pemain hasil naturalisasi tentu mendapatkan banyak pro kontra di kalangan masyarakat dan menimbulkan pertanyaan besar terkaitnya minimnya pemain muda asli tanah air. Pro kontra terhadap naturalisasi ini adalah bentuk kritis masyarakat terhadap sistem sepak bola di Indonesia. Mengapa kompetisi sepak bola di tanah air belum juga mampu mengembangkan potensi anak-anak negeri. Pro kontra semacam ini harusnya menjadi bahan pemikiran bersama, bahwa masyarakat menginginkan adanya kemajuan dalam dunia sepak bola, melihat jersey berlogo garuda bisa bersaing dengan negara belahan dunia lain dikancah Internasional.

Dengan demikian, naturalisasi seharusnya menjadi wahana penanaman nasionalisme, yang mana pemain-pemain hasil didikan luar negeri ini rela berjuang untuk memajukan kancah sepak bola nasional, bukan menjadi solusi utama di tengah minimnya anak negeri yang moncer di dunia sepak bola. Selain itu, bukan juga sebagai alat untuk menutupi kegagalan dalam menciptakan sistem persepakbolaan modern yang maju. Naturalisasi harus menjadi bahan renungan pemerintah, khususnya PSSI untuk bisa menyelenggarakan sistem persepakbolaan modern yang baik supaya melahirkan potensi-potensi muda berbakat, tanpa harus selalu bergantung pada pemain naturalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun