Mohon tunggu...
hasanuddin ibrahim
hasanuddin ibrahim Mohon Tunggu... -

Saya menyukai hal-hal yang bersifat filsafati, atau berkenaan dengan dinamika perkembangan pemikiran manusia dalam menemukan kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desekularisasi Demokrasi, dan Rejuvenasi Pancasila

31 Juli 2012   14:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:24 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekularisme adalah paham yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan agama (akhirat). Bagi mereka yang paham keagamaannya seperti ini, agama cukup ada di masjid, di pura, di rumah-rumah Ibadah. Agama tidak perlu hadir di sekolah, di partai politik, di sektor ekonomi dan lain yang terkait dengan urusan duniawi. Paham seperti ini muncul sebagai protes atas prilaku Gereja yang "berselingkuh" dengan kediktatoran pada masa lampau, utamanya di Eropah, yang kemudian mengalami proses transnasionalisasi melalui kolonialisme. Sementara itu, Liberalisme adalah paham kebebasan yang memandang bahwa manusia tidak memerlukan ikatan-ikatan, norma-norma termasuk norma agama untuk mengatur hidup dan kehidupannya. Untuk melaksanakan kedua paham ini secara hegemonik demokrasi liberal, menjadi intrumen yang paling tepat untuk menjalankannya.

Dalam prakteknya, disetiap negara paham sekularisme selalu berhadapan dengan paham religiusitas, yang biasanya menggunakan terminologi konservatisme. Konservatisme yang pada khakikatnya anti terhadap sekularisme - liberalisme itu berhadapan dengan satu sama lain dalam rentang waktu yang cukup dalam sejarah peradaban modern. Tidak terkecuali di Amerika yang disebut sebagai kampiunnya demokrasi modern, partai Republik yang disokong oleh kaum agamawan konservatif, bertarung memperebutkan pengaruh dengan partai Demokrat yang mengukuhkan nilai-nilai liberalisme-kapitalisme berbasis sekularisme.

Dalam prakteknya, kedua paham yang berseberangan ini, pernah tidak bebas dari budaya korupsi. Persetubuhan antara Gereja dan Kediktatoran di masa lampau, telah menciptakan pola hubungan kekuasaan dengan Gereja secara koruptif. Sementara di era modern liberalisme - kapitalisme, berbasis sekularisme melakukan perampokan terhadap hak-hak kaum miskin melalui beraneka kebijakan ekonomi yang menghisap seluruh keringat kaum buruh, kalangan miskin dan orang yang rentan dengan kemiskinan.

Di Indonesia, sejak tumbagnya rezim Orde Baru, praktek pelaksanaan demokrasi liberal yang cenderung sekularistik kian mengemuka. Namun disisi lain, konservatisme juga masih belum sepenuhnya mati. Masih ada sejumlah orang yang bersemangat membangun kekuatan politik berbasis agama tertentu. Di Kristen misalnya ada Partai Damai Sejahtera, yang tampil seakan ini menjadi rival dari Partai Keadilan Sejahtera. Dan sejumlah nama partai politik berhaluan agama lainnya.

Indonesia tidak memiliki sejarah memisahkan agama dengan negara. Bahkan dalam konsitusi jelas di tegaskan bahwa Indonesia berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Negara menjamin hak masing-masing warga negara untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya sesuai kepercayaan yang diyakininya. Termasuk dibidang politik. Atas dasar itu pulalah tumbuh sejumlah partai politik berbasis agama.

Praktek pelaksanaan Ketatanegaraan juga masih menguhkan pentingnya keberadaan agama dalam prikehidupan kebangsaan terbukti dengan masih dipertahankannya Departemen Agama, dan masih eksisnya peran serta ormas-ormas keagamaan seluruh agama yang ada.

Dengan kenyataan seperti itu, sesungguhnya politik bernuansa agama adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah keberadaannya, bahkan di lindungi oleh Konstitusi. Bukan hanya politik bernuansa agama, namun juga politik bernuansa etnisitas. Lihatlah misalnya bagaimana negara memberikan hak otonomi luas kepada Nangroe Aceh Darussalam untuk menerapkan hukum-hukum kanun, dengan sistem syariah dalam berbagai aspek kehidupannya. Demikian pula halnya di Papua, Negara melalui UU Otonomi Khusus Papua memberikan kekhususan bahwa untuk menjadi kepala daerah di tanah Papua mesti harus putra daerah yang diterjemahkan sebagai harus lahir di sana. Inilah bentuk politik etnisitas yang dilembagakan di Papua dalam wilayah NKRI. Sementara itu lihatlah bagaimana "darah" "keturunan" Sultan menjadi keharusan untuk memimpin DIY. UU Kekhususan DIY menolak diberlakukannya sistem demokrasi liberal, dan memberikan kekhususan untuk cukup mengangkat pewaris tahta Kerajaan Ngayogyakarta dan Surakarta untuk ditetapkan sebagai Gubernu dan Wakil Gubernur.

Fakta-fakta itu semestinya tidak perlu membuat kita berdebat kusir bahwa politik bernuansa SARA sesungguhnya dinaungi dalam wilayah NKRI secara legal-konstitusional.

Tentu saja kondisi ini tidak ideal, jika kita kembali kepada semangat Pancasila sebagai suatu Ideologi Bangsa, kurang ideal jika kita sedikit ultra-nasionalis dengan mengacu kepada finalitas NKRI. Tapi seperti itulah realitas yang ada saat ini. Pekerjaan yang tidak mudah untuk benar-bener mendudukkan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, hidup dan terbuka ditengah kuatnya kekuatan ideologi transnasional yang menyeruak di tengah-tengah kehidupan kebangsaan kita. yang memaksa diberlakukannnya pengecualian-pengecualian guna melindungi kearifan-kearifan lokal melalui pemberian kekhususan-kekhususan kepada sejumlah daerah-daerah otonom.

Gejala menguatnya politik bernuansa agama, etnisitas dalam sejumlah pilkada di tanah air, dalam batas-batas yang berada diluar kewajaran menunjukkan bahwa da sesuatu yang mesti di benahi. Tetapi jalan keluar untuk membanahi hal itu bukanlah dengan meneguhkan paham sekularisme-liberalisme, atau paham-paham transnasional berhaluan agama lainnya, melainkan kembali kepada jatidiri bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pancasila harus bisa "bekerja" kembali secara efektif untuk menengahi pro-kontra dan kemungkinan pertarungan terbuka antara sejumlah paham-paham transnasional itu. Untuk melalukan hal itu, Desekularisasi Demokrasi, dan Rejuvenasi Pancasila menjadi keniscayaan.

Wallahu a'lam bi al-shawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun