Mohon tunggu...
hasan sebastian
hasan sebastian Mohon Tunggu... -

mahasiswa penerima beasiswa dari Yayasan Baitul Mal (YBM) BRI, jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum #Part II

22 Februari 2014   01:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang kutulis ini merupakan lanjutan dari tulisan “Senyum” yang kutulis beberapa hari yang lalu. Dan yang melatarbelakangi tulisan ini hadir – saat ini – ialah pening di kepalaku yang makin menjadi-jadi sejak sore tadi (menurut diagnosisku pribadi sakit ini muncul gara-gara banyak pekerjaan yang tertunda kukerjakan – termasuk menulis tentang ini. Aku biasa mengalami pusing atau migrain jika menunda-nunda sebuah pekerjaan) tak dapat lagi dipertahankan. Aku dihadapkan pada dua pilihan; mencoba melupakan rasa pusingku dengan segera tidur (meski esok pusing ini akan kembali kurasakan saat bangun), atau sesegera mungkin menyelesaikan salah satu pekerjaan yang dapat kukerjakan malam ini (dengan harapan setidaknya hal itu dapat mengurangi rasa sakitku, syukur-syukur bisa menyembuhkannya).

Kejadiannya seperti ini. Aku ketiduran saat membaca “Sebelas Menit” di kamar kakakku (tempat di mana “Senyum” ditulis) dan  terbangun sekitar pukul setengah dua belas kemarin malam. Saat itu juga aku teringat akan pekerjaan-pekerjaan yang belum terselesaikan. Tugas-tugas kampus, rencana pulang ke Minomartani, pesanan gambar kakakku, lanjutan tulisan tentang senyum ini, sketsa untuk proyek mural sebuah TK, menulis puisi, bayaran yang belum kuperoleh, hutang membaca buku referensi tugas, dan kesemuanya itu berjejer di kepalaku laksana papan Monopoli, menunggu di mana daduku akan menuntunku untuk merampungkan pekerjaan yang terpilih. Setelah sejenak kesadaranku terkumpul aku memilih untuk mengerjakan pesanan gambar kakakku. Beberapa kali  pekerjaan-pekerjaan lain melintas di kepalaku dengan bersungut-sungut – mereka pasti jengkel gara-gara tidak terpilih.

Di saat proses menggambar, tiba-tiba saja aku teringat pada mimpi yang baru saja kualami. Sembari menyelesaikan gambar kucoba untuk mengumpulkan segenap ingatanku tentang mimpi itu dari memoriku. Setelah lelah mengaduk-aduk isi memoriku kutemukan apa yang kucari. Namun ingatanku tak lagi utuh, ia tinggal sepotong kecil dan aku kehilangan detail-detail mimpi itu. Sayang sekali. Inilah sepotong kecil mimpi itu:

Aku dan Si Gadis bertemu di sebuah tempat yang telah dijanjikan. Kami bergandengan tangan menyusuri tangga dengan sesekali bersipandang dan tersenyum satu sama lain. Sesampainya di anak tangga terakhir, kami mendapati keramaian manusia.

Setelah gambarku rampung, aku lebih berkonsentrasi memikirkan mimpi itu dan kembali mengacak-acak memori. Namun sia-sia, tak dapat kutemukan ingatan mimpi itu di mana pun. Bagian dalam diriku dengan sinis berkomentar, “Usahlah kau berkeringat untuk hal sepele semacam ini. Masih banyak hal penting lainnya yang menunggu pemikiranmu. Buang-buang waktu saja!.”  Namun bagian dalam diriku yang lain segera menimpali, “Bisa jadi kau memikirkan ‘hal penting’ itu, padahal telah banyak orang yang lebih berkompeten dan memiliki solusi telah menyelesaikannya. Dan menyangkut apa yang kau pikirkan kini, tak lain adalah persoalan tentang dirimu sendiri. Hasrat sejatimu. Sayang sekali!.” Terjadi perdebatan hebat dalam diriku. Aku bimbang.

Kucoba kembali mendatangi ‘perpustakaan’ memoriku. Kali ini dengan sopan, dan petugas di sana – mungkin karena iba melihatku - dengan setengah hati menyodorkan potongan ingatan lainnya kepadaku. Potongan itu lebih besar dari potongan mimpi yang kutemukan sebelumnya, aku sendiri kewalahan membawanya. Kuberikan potongan itu pada kesadaranku, dan saat dibuka kami terkaget-kaget. Potongan itu bukanlah ingatan tentang mimpiku, melainkan ingatan yang lain. Tetapi justru itulah titik poinnya. Aku telah melupakan bagian terpenting dari puzzle mimpiku.  Inilah isi potongan itu:

Sore hari setelah keluar dari kuliah saat hendak salat, saat kususuri tangga tanpa sengaja mataku menangkap sebuah sosok. Itu sosok Si Gadis! Ia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Kubalas hanya dengan tersenyum, aku masih shock dengan penglihatanku; aku tidak siap. Kejadian itu berlangsung tak lebih dari semenit. Namun dari sorot matanya dapat kudengar ia berkata, “Hai, bagaimana kabarmu hari ini?” “Aku baik-baik saja, terima kasih.” Jawabku. Setelah mengetahui keadaanku yang ternyata baik-baik saja, ia lantas pergi. Jawabanku tentu melegakannya, mungkin juga tak ia duga, mungkin pula ia juga tak siap dengan pertemuan ini hingga lupa pada pertanyaan-pertanyaan yang akan ia ajukan padaku yang telah ia siapkan sebelumnya.  Aku pun melanjutkan kegiatanku.

Pertemuan tanpa sengaja itu masih mengganjal dalam pikiranku. Ada kisah yang belum usai dari pertemuan itu – sulit dijelaskan. Aku duduk di teras fakultas, mendung tebal menggantung di atas sana. Aku ingin segera pulang, tetapi ada bagian diriku yang menahan. Gerimis mulai membasahi bumi. Aku menuju parkiran. Saat sedang mencari-cari motorku gerimis berubah jadi hujan lebat. Ada sedikit penyesalan kurasakan mengapa aku tak pulang sedari tadi, tetapi diriku juga menikmati saat-saat samcam ini, saat-saat menunggu. Berhubung aku tak punya jas hujan, kuputuskan untuk menikmati hujan sore itu sambil melanjutkan bacaanku.

Hingga menjelang maghrib hujan tak kunjung reda meski tinggal rintik-rintik. Sebentar lagi Si Gadis selesai kuliah, dan kita dapat melanjutkan kisah tadi. Namun itu terkesan aku telah menunggunya sedari tadi, dan egoku tak menerima itu. Akh, diriku memusuhiku saat ini. Ia hanya diam. Sial. Jika aku pulang ke Minomartani, aku akan basah kuyup. Tempat kakakku lebih dekat, di sana ada komputer pula; aku bisa menulis. Dengan sedikit pertimbangan dan alasan yang kubuat-buat serta banyak rasa malas akhirnya aku melaju ke tempat kakakku.

Bukan ingatan yang kuharapkan, namun inilah benang merah dari mimpiku. Buah puzzle yang terlupa.

Apakah benar mimpi ini merupakan wujud represi perasaanku pada Si Gadis, sabagaimana kata Jung, hingga ia menembus ruang ketidaksadaranku dan menjadi Sang Zahir? Apakah ini pertanda dari-Nya? Atau hanya sebentuk bunga tidur, permainan setan yang coba ditawarkan padaku? Aku tak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun