Memang,
Aku bukan lagi kekasih baginya.
Lantas, salahkah aku jika masih sayang padamu?
Walau berdalih kodrat makhluk sosial?
Dia Vena, gadis yang sempat membuka hatinya untukku. Namun, aku terlalu bodoh. Menyakiti perasaannya yang halus, bahkan harus dielus. Aku tidak sengaja bersama sahabat dekatku. Ia perempuan. Hasilnya, Vena cemburu dan berujung perpisahan denganku. Kenangan itu laksana badai yang menghancurkan pohon, rumah bahkan gedung-gedung. Menanti mentari menyingsing, berikan harapan kehidupan yang baru.
Tidak biasanya, aku menyendiri di kursi ini. Menelisik seantero sisi Alun-Alun Kotaku. Semua senyap. Tak seorangpun berani lewat di hadapanku. Bahkan, angin merunduk mencoba menghiburku. Aku masih berduka. Aku terlalu sayang padanya, sedia hadir mengusap air matanya, mendengar tatkala ia dirubung masalah. Tapi, kini kuharus mengusap air mata sendiri, ia memutuskan. Aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti keputusannya.Â
Sesaat berlalu, kujumpai bunga yang dulu sempat kutanam bersamanya. Tepat di pinggir kursi. Malang, ia kurang diurus, tubuhnya kurus. Helaian daun kering disekelilingnya. Tinggal hanya setangkai bunga yang layu. terseok-seok dihembus panas-dinginnya alam sekitar.Â
"Betapa malangnya nasibmu, Bunga!"
"Kau sepertiku, bermekaran indah menyandar pada ranting yang lain. Namun, kita kau hidup sebatang kara. Sendiri menderita, mencoba menikmati sisa waktu yang diberi Tuhan," kataku dalam hati.Â
Bagaimana lagi, hanya aku seorang diri. Tidak ada lawan bicara yang setidaknya menjawab salamku, dan mengingatkanku tatkala senja tiba. Semua tinggal percahan-percahan kisah masa lalu. Perlahan hancur tergerus kehidupan yang keras, berliku dan penuh ketabahan.
"Sayang, andai kau bersamaku. Aku sudi melukis pelangi, berlari mengitarimu,"