Pro kontra seputar perubahan Undang-Undang KPK kian menghangat. DPR sepertinya bersikeras melakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut sebagian kalangan di DPR beberapa kewenangan KPK yang dianggap berlebihan misalnya penyadapan perlu diatur agar kewenangan tersebut tidak disalahgunakan hingga melanggar hak asasi orang lain. Sementara di sisi lain pandangan yang tidak setuju revisi berdalih bahwa kewenangan yang dimiliki KPK saat ini sudah memadai dan selama ini sudah cukup efektif untuk memberantas korupsi, olehnya itu Undang-Undang KPK tidak atau belum perlu diutak-atik.
Sebuah undang-undang sebagai produk lembaga legislatif tentu diyakini tidak lepas dari kekurangan-kekurangan, olehnya itu tidak menutup kemungkinan untuk setiap saat diperbaiki agar tetap sesuai dengan kondisi masyarakat yang selalu dinamis. Yang menjadi persoalan adalah seberapa mendesak perubahan tersebut dilakukan, apakah perlu sesegera mungkin ataukah belum saatnya diubah dengan pertimbangan bahwa perubahan tersebut sebenarnya belum layak jadi prioritas.
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, program legislasi nasional juga semestinya mempertimbangkan skala prioritas dalam hal revisi undang-undang. Bila dicermati, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil yang menjadi acuan pokok dalam pemberantasan korupsi, masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut sangat berdampak pada efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kelemahan-kelemahan undang-undang Tipikor sebagaimana disebutkan dalam sebuah Naskah Akademis yang disusun oleh Koalisi Pemantau Peradilan antara lain: adanya tumpang tindih pengaturan, adanya beberapa modus korupsi yang belum diatur dalam UU Tipikor, dan belum diaturnya daluarsa tindak pidana korupsi.
Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian mendasari dibuatnya sebuah Naskah Akademis Undang-Undang Tipikor oleh Koalisi Pemantau Peradilan yang dikatakan sebagai sebuah usul inisiatif masyarakat untuk mengawal perubahan UU Tipikor. Hal-hal mendasar yang diatur dalam rancangan UU tersebut antara lain:
- Pemberian sanksi pidana terhadap pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaannya.
- Kriminalisasi illicit enrichment. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa "Pejabat Publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang tidak seimbang dengan pendapatannya secara sah dipidana penjara paling singkat 2 th.... dst."
- Dipertegas pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian (pembuktian terbalik) dalam hal adanya dugaan suap dan illicit enrichment.
Ketiga hal tersebut di atas yakni pelaporan harta kekayaan pejabat publik, illicit enrichment, dan sistem pembuktian terbalik adalah "tiga serangkai" yang tidak bisa dipisahkan untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi. Ketiganya lebih penting dan lebih perlu mendapat prioritas untuk dijadikan materi muatan dalam suatu undang-undang. Jauh lebih penting dari pada mempersoalkan revisi dari undang-undang KPK. Revisi Undang-Undang KPK bisa berubah manjadi bola liar yang berujung pada pelemahan KPK sedangkan revisi UU Tipikor dengan menambahkan pelaporan harta kekayaan, illicit enrichment, dan pembuktian terbalik jelas akan berdampak positif pada kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H