Barat, alih-alih berdiri di pinggir, dipaksa untuk menanggapi dinamika BRICS yang semakin berkembang dan populer. Pemerintah Barat, yang sering tidak setuju dan terbagi atas pendekatan mereka, mungkin terpaksa menilai kembali hubungan mereka dengan negara-negara pasar berkembang.
Situasi saat ini ditandai oleh meningkatnya ketegangan, seperti yang diilustrasikan oleh menurunnya kepercayaan pada lembaga-lembaga yang berpusat di Barat. Sikap para pelaku NATO dan Eropa terhadap BRICS dapat menjadi fokus perdebatan sengit, yang menyoroti kebutuhan yang tak terelakkan untuk adaptasi.
Dengan menghadiri acara ini, Guterres kemungkinan menggambarkan keinginan PBB untuk menghidupkan kembali perannya di dunia yang terus berubah.
Intervensinya dapat menggarisbawahi semakin pentingnya dialog Selatan-Selatan, dan pertukaran yang bertujuan untuk membangun kemitraan kooperatif yang melampaui batas-batas yang biasa.
KTT ini juga dapat memberikan kesempatan bagi negara-negara di belahan bumi selatan, yang ingin menyuarakan aspirasi mereka di panggung internasional.
Negara-negara ini, yang sering kali diabaikan dalam diskusi global, dapat mengambil manfaat dari pengalaman dan sumber daya BRICS untuk membangun model pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Tantangannya terletak pada upaya membangun hubungan yang kuat dan langgeng yang tidak hanya didasarkan pada fondasi ekonomi tetapi juga mengintegrasikan pertimbangan sosial dan lingkungan.
Multilateralisme, sebagaimana yang dikonsepsikan setelah Perang Dunia II, tengah menghadapi masa ketidakpastian.
Lembaga-lembaga yang mapan berjuang untuk secara efektif mengatasi tantangan-tantangan kontemporer seperti perubahan iklim, meningkatnya kesenjangan, dan krisis tata kelola.
KTT BRICS dapat menawarkan visi baru tentang multilateralisme, yang lebih inklusif dan disesuaikan dengan realitas saat ini.
Model ini dapat menciptakan sinergi di antara negara-negara di belahan bumi selatan, yang mengusulkan alternatif terhadap kekakuan kerangka kerja Barat saat ini.