Mohon tunggu...
Hasan Lukman
Hasan Lukman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seseorang yang sedang mencari "sesuatu" di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Zethaghorzia untuk Bumi

11 Juni 2013   11:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:13 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini aku melihat langit timur bumi begitu biru, dan awan gelap begitu pekat mengekornya di sebelah barat. Udaranya tidak terasa dingin, namun tidak pula terasa panas, masih dalam taraf kewajaran cuaca bumi yang akhir-akhir ini sering kurasakan. Beberapa fenomena cuaca bumi ini yang mungkin bisa kucatat dalam memori panjangku. Ya, setidaknya untuk sekarang, sampai nanti ku temukan fenomena-fenomena lainnya yang bisa kuceritakan di planetku, Zethagorn.

Perkenalkan, namaku Formhos. Aku berasal dari planet yang berjarak sekitar 2,5 juta tahun cahaya atau 18,8 triliun kilometer dari Bumi bernama Zethagorn, sebuah planet kecil jika dibandingkan dengan planet-planet lainnya yang tedapat dalam garis lintang galaksi Andromeda. Dan Bumi adalah obyek yang sering kutemukan dalam bayang-bayang khayal, cerita-cerita dongeng sebelum tidur, dan legenda-legenda yang sering diceritakan oleh para tetua kepada kami.

Dahulu, para orang tua kami sering menceritakan tentang sebuah planet indah bernama Bumi, atau kami kenal dengan Arthron. Di rumah-rumah kami, selalu saja ada waktu yang kami luangkan untuk berkumpul bersama mendengarkan cerita tentang Arthron. Bagi para Zethagorzia –penduduk Zethagorn—Bumi dilukiskan sebagai sebuah planet dengan komposisi air paling banyak di galaksinya, sehingga membuat planet ini menjadi planet paling subur dan indah yang pernah kami ketahui. Maka tidak heran hal tersebut membuat para Zethagorzia iri.

Rasa iri ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Kami sebenarnya merindukan planet kami yang dulu, sebuah planet yang tidak kalah indah dibandingkan Bumi. Ketika siang datang, langit kami berwarna hijau muda dengan titik-titik berpendar cahaya merah muda yang bergerak-gerak tak beraturan seperti cahaya kunang-kunang pada malam hari di Bumi. Dan jika malam tiba, titik-titik berpendar merah muda itu berubah menjadi titik-titik berpendar putih. Indah sekali. Kemudian kami masih ingat bagaimana kami bisa berjalan dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain berkat udara yang sejuk. Lapisan udara yang sejuk itu membetuk semacam kabut tipis yang menyelimuti tubuh kami dan secara alami membuat tubuh kami ringan, sehingga kami tidak memerlukan alat lain –atau manusia Bumi mengenal alat transportasi—untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Kami hidup dalam kedamaian. Keluarga-keluarga kami hidup dengan rukun. Ada semacam prinsip yang kami pegang bersama-sama, bahwa dalam berkeluarga ikatan terkuat adalah saling percaya dan saling menjaga perasaan antara anggota keluarga. Prinsip ini secara tak sengaja ku temukan juga dalam keluarga-keluarga manusia di Bumi.

Namun setelah seratus tahun berlalu, keindahan dan kedamaian Zethagorn perlahan-lahan lari darinya. Planet kami perlahan-lahan berubah akibat keserakahan Zethagorzia sendiri. Langit yang dulu berwarna hijau muda perlahan-lahan berubah menjadi berwarna hitam pekat dengan asap-asap  menggantung di bawahnya. Asap-asap itu berasal dari mesin-mesin yang kami ciptakan sendiri yang pada awalnya kami pikir mesin-mesin ini akan membantu dalam mengolah sumber daya planet kami. Hasil-hasil alam kami habiskan untuk dijadikan bahan bakar mesin-mesin ini. Siapa yang menyangka, bahwa pada akhirnya mesin-mesin inilah yang membunuh kami secara perlahan. Membunuh benih-benih Zethagorzia lebih banyak lagi. Sebuah akibat dari keserakahan yang berujung pada kemusnahan.

Kini mataku tertuju pada Bumi, sebuah planet yang kupikir memiliki beberapa kesamaan seperti Zethagorn. Meskipun ku temukan beberapa kesamaan antara Zethagorzia dan Manusia, keserakahan yang lahir dari pikiran-pikiran kotor tak seharusnya menjadikan Manusia menjadi sosok-sosok mesin yang menghancurkan segala macam kehidupan di Buminya atau yang terburuk adalah menghancurkan diri mereka sendiri, karena kami yakin mereka memiliki sesuatu yang tidak kami miliki dan menjadikan mereka Manusia-manusia yang beradab, yaitu sebuah hati bersih yang tertanam di dada mereka. Jika kulihat masih ada manusia-manusia serakah yang selalu mementingkan diri mereka sendiri, maka bisa kukatakan bahwa ada masalah kronis dalam hatinya yang membuat mereka tak mampu berpikir jernih. Manusia-manusia seperti itu tidak ubahnya seperti Zethaghorzia jahat yang telah merubah planetku. Mereka tidak pantas mengaku diri mereka manusia seutuhnya jika fungsi hati mereka telah lumpuh.

Perhatian kami tertuju pada Bumi, dan berharap cerita-cerita yang sering kami dengar di dalamnya tidak berubah dan tidak memiliki nasib yang sama seperti Zethagorn.

Zethagorzia untuk Manusia, semoga planet kalian selalu biru dan hijau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun