Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah isu baru. Sejarah panjang dan dinamika sosial di Indonesia turut membentuk budaya diskriminasi politik yang kerap kali menjadi penghambat proses demokrasi. Dari tragedi kerusuhan 1998 hingga narasi "presiden harus pribumi", diskriminasi ini tak hanya mengganggu keadilan sosial, tetapi juga mencoreng nilai-nilai demokrasi yang seharusnya mengedepankan kesetaraan. Diskriminasi ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari tindakan kekerasan fisik hingga perlakuan tidak adil dalam kebijakan politik. Fenomena ini juga tak lepas dari pengaruh stereotip dan prasangka yang telah mengakar sejak lama dalam masyarakat. Stereotip ini diperkuat oleh pengalaman sejarah yang memperlihatkan bagaimana etnis Tionghoa kerap menjadi sasaran diskriminasi dalam berbagai periode kekuasaan. Bahkan di era reformasi, di mana nilai-nilai demokrasi seharusnya lebih ditegakkan, praktik-praktik diskriminatif tersebut masih terus terjadi. Upaya untuk mengatasi diskriminasi ini membutuhkan sinergi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga hukum, hingga masyarakat sipil, agar keadilan dan kesetaraan benar-benar terwujud dalam tatanan sosial dan politik Indonesia.
1. Faktor Penyebab Diskriminasi
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dipicu oleh sejumlah faktor, baik dari persepsi sosial maupun jejak sejarah. Salah satu akar permasalahan utamanya adalah stereotip negatif yang melekat di masyarakat. Beberapa pandangan negatif yang sering dilekatkan kepada etnis Tionghoa di Indonesia antara lain:
- Stigma Sosial: Etnis Tionghoa kerap dianggap eksklusif, tidak peduli dengan komunitas sekitar, hingga dianggap mendominasi sektor ekonomi.
- Sejarah Kelam: Sejak masa kolonial, etnis Tionghoa kerap diperlakukan secara berbeda, seperti kebijakan pemisahan wilayah "Pecinan" pada abad ke-18 dan penggantian istilah dari "Tionghoa" menjadi "Cina" selama rezim Orde Baru. Kebijakan ini bertujuan melemahkan rasa nasionalisme mereka dan memperkuat sentimen diskriminatif.
Faktor-faktor tersebut membentuk persepsi negatif di masyarakat yang akhirnya mendorong praktik diskriminasi, baik secara sosial maupun politik.
2. Praktik Diskriminasi dalam Demokrasi
Praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan politik. Beberapa peristiwa besar yang menunjukkan fenomena ini antara lain:
- Tragedi Kerusuhan Mei 1998: Peristiwa ini menjadi salah satu bukti nyata diskriminasi yang paling memilukan. Selama kerusuhan, banyak properti milik etnis Tionghoa dijarah dan dihancurkan, bahkan sejumlah orang menjadi korban kekerasan seksual dan fisik. Situasi tersebut mencerminkan puncak dari sentimen anti-Tionghoa yang telah mengakar lama.
- Diskriminasi Politik di Era Reformasi: Sentimen diskriminasi tidak berhenti di era Orde Baru. Pada 2016, kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga memperlihatkan bagaimana identitas etnis Tionghoa dapat dijadikan senjata politik. Bahkan, seorang warga keturunan Tionghoa yang menggunakan transportasi umum sempat diserang secara verbal karena diasosiasikan dengan Ahok.
- Wacana Presiden Harus Pribumi: Beberapa wacana politik sempat memunculkan kembali narasi "presiden harus dari pribumi". Wacana ini, meskipun bertujuan untuk menegaskan identitas nasional, justru memperkuat eksklusi terhadap kelompok tertentu, termasuk etnis Tionghoa.
3. Dampak Diskriminasi Politik
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tidak hanya berpengaruh pada individu, tetapi juga memiliki dampak besar pada sistem demokrasi secara keseluruhan. Berikut beberapa dampaknya:
- Memperpanjang Sentimen Negatif: Sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa terus berlanjut. Stereotip yang diwariskan dari generasi ke generasi memperkuat jarak sosial dan memperlemah solidaritas nasional.
- Memicu Perpecahan Sosial: Prasangka negatif dan sikap diskriminatif menciptakan perpecahan antarkelompok sosial. Ini berpotensi memperkuat polarisasi di masyarakat dan menurunkan tingkat kohesi sosial.
- Menghambat Proses Demokrasi: Diskriminasi politik berpotensi mencoreng nilai-nilai demokrasi. Demokrasi seharusnya menjamin hak yang setara bagi semua warga negara. Namun, jika etnis tertentu tidak mendapatkan hak tersebut, maka keadilan dalam sistem demokrasi dapat dipertanyakan.
4. Upaya Menghapus Diskriminasi Politik
Untuk membangun demokrasi yang lebih adil dan setara, langkah-langkah berikut perlu diambil:
- Pendidikan Anti-Diskriminasi: Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa stereotip tidak mewakili seluruh kelompok. Pendidikan ini bisa dilakukan melalui sekolah, media massa, dan kampanye kesadaran sosial.
- Penegakan Hukum yang Adil: Pemerintah perlu menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kejadian diskriminatif harus ditindak secara tegas untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
- Rekonsiliasi Sejarah: Pengungkapan kebenaran sejarah terkait peran etnis Tionghoa dalam pembangunan bangsa harus diperkuat. Sejarah yang jujur dapat menghilangkan persepsi keliru yang menjadi akar diskriminasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H