Keluarnya Perpres No. 64 Tahu 2020 tentang perubahan kedua atas perpres no. 82 tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan bagaikan petir di siang bolong, sangat mengagetkan dan membingungkan, dikeluarkan disaat banyak orang berusaha bertahan hidup di masa sulit seperti sekarang ini. Apapun argumentasi yang dipakai pemerintah untuk merasionalisasi dikeluarkannya kebijakan ditengah pandemi ini rasanya sulit diterima.
Disaat sebagian masyarakat untuk makan saja menunggu bantuan sosial, malah diberi beban tambahan dengan kenaikan iuran BPJS. BPJS mengalami kesulitan keuangan alias defisit. Tapi mengapa untuk menutupi defisit pilihannya menaikkan iuran?Â
Apakah cuma itu satu-satunya pilihan yang terpikirkan? pertanyaannya kenapa masyarakat yang dibebankan, bukankah ini merupakan tanggung jawab konstitusional pemerintah? berdasarkan Pasal 28 H Â dan 34 Ayat (2) dan (3) UUD 1945? dimana masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial?
Argumentasi yang dibangunpun untuk mencoba membenarkan kenaikan iuran BPJS terkesan lucu, untuk mendorong semangat gotong royong, aneh orang Indonesia mau diajari bergotong royong yang sejak dalam kandungan sudah tertanam kebiasaan itu.
Kebijakan mengenai kenaikan iuran BPJS memunculkan kesan kurang berempatinya pemerintah terhadap kesulitan masyarakat. Ditengah banyaknya masyarakat kehilangan pekerjaan malah mendapat "kado" pahit. Gelombang PHK mulai terjadi dan disinyalir  mengakibatkan 15 juta orang akan kehilangan pekerjaannya.
Dengan hilangnya pekerjaan, berbanding lurus dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada titik inilah kebijakan kenaikan iuran BPJS menguatkan kesan bahwa pemerintah abai dalam menyelami kesulitan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H