Saat ini DPR RI merencanakan untuk membangun perpustakaan terbesar se Asia Tenggara, rencana ini berdasarkan usulan para cendekiawan yang kemudian ditindaklanjuti oleh anggota DPR dengan melakukan rapat konsolidasi dan studi komperehensif ke berbagai perpustakaan di Indonesia. Hal ini sebagai pedoman untuk dapat mempertimbangkan lebih lanjut secara kritis terhadap dampak positif dan negative terhadap usulan tersebut.
Namun rencana tersebut mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat, beberapa orang atau kelompok seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai usulan proyek pembangunan perpustakaan umum parlemen itu aneh, karena dilakukan secara tiba-tiba (SindoNews.com Sabtu/26/32016), Direktur Center Budget Analysis Uchok Sky Khadafi juga menyampaikan pandangannya, menurutnya pembangunan perpustakaan hanya menghabiskan uang rakyat. Sebab, belum tentu perpustakaan itu dapat menunjang kinerja anggota DPR (Kompas.com Sabtu/25/3/2016).
Dua tanggapan di atas menjadi gambaran umum tentang cara berpikir dan argumentasi yang digunakan untuk “menolak” wacana proyek pembangunan perpustakaan umum di kompleks parlemen Senayan. Dari argumentasi penolakan mereka, dapat kita pahami pola berfikir (para penolak) tersebut adalah pola pikir “skeptis”. Orang dengan pola pikir skeptis (selalu ragu) adalah mereka yang selalu pesimis dengan keadaan, orang sepeti ini adalah mereka yang selalu mematahkan semangat dan cenderung menggagalkan sebuah usaha yang baik. Mereka tidak percaya diri akan kemampuan (bangsa), tidak menyadari akan kehebatan dan kekuatan yang dimiliki Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan modern. Perhatikan alasan-alasan penolakkannya Pertama, menolak rencana tersebut karena menilai hal itu terburu-buru; kedua, menolak karena menghabiskan uang rakyat dan tidak menunjang kinerja anggota DPR.
Sebab, orang-orang yang optimis dan menyadari kekuatan bangsanya akan berargumen “ini adalah sebuah gagasan besar, tidak banyak orang berpikir seperti ini ditengah pusaran politik transaksional tetapi ada orang yang mau berpikir untuk masa depan generasi dan masa depan bangsanya”, atau akan berkata “wah, sangat luar biasa, kita berharap anggota dewan akan semakin cerdas, karena ditunjang dengan buku-buku yang mudah diakses, bangsa Indonesia akan semakin menjandi bangsa yang besar dan modern”.
Berikut penulis akan mencoba mendekonstruksi cara berpikir mereka (kaum skeptis) sehingga apakah alasan-alasan penolakan seperti itu ilmiah, objektif dan dapat diterima akal sehat atau hanya sekedar sebuah alasan yang tidak masuk akal, politis dan bersifat subjektif.
Pertama, jika menilai rencana pembangunan perepustakaan itu sebagai sebuah ide yang buru-buru, adalah sebuah kekeliruan. Pertanyaannya, apa ukuran sehingga rencana tersebut sebagai sebuah yang hal yang buru-buru, atau seberapa lamakah idealnya seharusnya renacana tersebut dibutuhkan waktu. Lagi-lagi, argumentasi sebagaimana yang disampaikan peneliti Formappi Lucius Karus sungguh sangat rapuh. Pada hal, rencana pembangunan perpustakaan terbesar se Asia Tenggara tersebut telah melewati tahap-tahapan kajian yang teliti, mulai dari menjaring pendapat dari para cendekiawan, studi khusus tentang kepustakaan di Indonesia, rincian anggaran, penelitian kapasiatas, serta pengelolaan perpustaakan. Sehingga dengan tahapan tersebut menjadi pertimbangan dan dasar statistik methodelogis untuk menunjang proses pembangunan tersebut sehingga tidak terjadi penyimpangan dan atau pelanggaran.
Kedua, sama seperti argumentasi yang pertama, alasan yang kedua juga tidak dapat dianggap sebagai alasan penolakan yang sifatnya subjektif dan politis. Sebagai seorang direktur sebuah lembaga kajian Uchok Sky Khadafi seharusnya bisa memahami dengan holistic dan tidak secara parsial menilai bahwa rencana tersebut keliru. Dengan paradigm yang hollistik dapat melahirkan kesimpulan yang objektif, rasional dan berbasis data. Mungkin perlu dipahami bersama, bahwa rencana tersebut merupakan bagian dari program pembangunan nasional (infrastruktur nasional) tahun anggran 2016, sejalan dengan semangat pembangunan nawacita, gerakan revolusi mental dan juga percepatan pembangunan infrastruktru Presiden Joko Widodo.
Pembangunan perpustakaan termasuk dalam pembangunan infrastruktur khsusnya dalam sector pendidikan. Membangun perpustakaan sama dengan membangun basis pendidikan, membangun mental bangsa dan generasi, dengan adanya perpustakaan tersebut dapat menjadi motivasi dan dorongan bagi bangsa dan juga generasi bangsa untuk lebih mencintai buku, membaca buku dan mengganti aktifitas main games dengan aktiftas membaca buku. Mental yang menganggap perpustakaan tidak urgen, perpustakaan menghabiskan uang rakyat dan tidak memberikan manafat untuk rakyat adalah mental orang-orang “buta huruf” dan dapat dipastikan mereka-mereka yang berargumentasi seperti itu adalah mereka yang jauh dari buku-buku dan jarang baca buku. Sebab tidak ada buku yang tidak bermanfaat, tidak ada perpustakaan yang tidak bermafaat, dampak adanya buku dan berdirinya sebuah perpustakaan dapat dirasakan oleh generasi kedepan.
Karena perpustakaan adalah proyek peradaban, yang masuk sebagai penunjang percepatan revolusi mental, dan penunjang pembangunan kualitas pendidikan bangsa, maka otomasi akan dianggarkan dengan APBN. Penulis yakin,rakyat Indonesiapun akan sepakat dengan rencana tersebut, dari pada anggaran tersebut dipakai untuk studi banding atau dikorupsi oleh para koruptor.
Secara praktis, pembangunan perpustakaan bukanlah sebuah program yang langsung dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagaimana program BPJS atau bantuan social lainnya. Pembangunan perpustakaan tergolong dalam jenis pembangunan infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Sebagai pembangunan yang bersifat jangka panjang, pemanfaatan atau kegunaan perpustakaan tentu akan dirasakan oleh masyarakat sekitar sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang. Itu artinya pembangunan ini merupakan proyek peradaban, yang akan bermanfaat besar untuk masa depan bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia. Hal ini diibaratkan kita yang menanam pohon hari ini, jika berpikir saat di tanam langsung dapat dinikmati buahnya maka suatu kekeliruan, tapi berpikirlah bahwa pohon tersebut akan dinikmati oleh anak cucu dikemudian hari.