Pasca Munaslub Partai Golkar mulau melakukan pembenahan, mulai dari pembenahan nama baik, pembenahan elektabilitas, pembenahan persoalan-persoalan yang mengakibatkan terjadinya perpecahan secara internal di dalam tubuh partai. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari amanah Munaslub yaitu melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi. Kedua hal poko ini merupakan tujuan utama dilakukannya Munaslub itu, selain sebagai memontuk untuk membangkitkan Golkar dari keterpurukannya.
Rekonsiliasi merupakan upaya menata kembali partai yang mengalami keterpurukan dan kehancuran akibat konflik yang berkepanjangan. Secara teoritis, proses menata organisasi atau partai politik haruslah dimulai dari internal, dari dalam tubuh partai itu sendiri atau yang disebut dengan penataan jalannya sistem, baru kemudian dilakukan perbaikan di luar. Mustahil melakukan perbaikan di luar sementara alat perbaikannya di dalam mengalami kehancuran.
Penataan system yang pertama adalah penataan atau yang lebih tepatnya penyeleksian keanggotaan atau orang-orang yang ada di dalam system itu sendiri, karena jalannya system akan sangat ditentukan oleh siapa yang menjalankan system itu sendiri, jika orang yang baik yang menjalankannya makan jalannya system akan benar pula, tapi jika orang yang salah maka akan salah pula jalannya system tersebut.
Lalu bagaimana menentukkan orang-orang yang dianggap pantas untuk menjalankan system atau struktur tersebut? Di dalam Partai Golkar sendiri memiliki dasar penilai kelayakan bagi para kader-kadernya untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di kepengurusan partai, dasar penilai tersebut adalah apa yang disebut PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidaktercela). Dengan PDLT dapat menjadi alat bagi partai Golkar untuk mendeteksi siapa yang layak dan siapa yang tidak layak untuk menjadi pengurus partai.
PDLT harus diutamakan, harus menjadi kacamata berpikir bagi pimpinan partai dalam proses perekrutan, dan dalam menempatkan kader-kader di dalam kepengurusan partai. Jika tidak maka akan fatal akibatnya. Hal ini dapat kita lihat saat ini, apa yang dilakukan Setya Novanto sebagai ketua umum partai yang mencoba menyusun kepengurusan partai dengan cara mengabaikan PDLT dan etika, sehinga yang terjadi adalah masuknya orang-orang yang memiliki kasus dan cacat hukum di dalam kepengurusan inti partai Golkar, tidak hanya cacat hukum, juga terdapat orang yang secara jelas telah mencoreng wajah partai akibat perbuatan asusila yang dimana perbuatan tersebut merupakan pelanggaran etika dan moral public dalam kategori berat.
Apa yang dilakukan oleh Novanto tersebut haruslah dapat ditinjau kembali, agar kedepan tidak menjadi beban bagi partai dan tidak menjadi persoalan bagi public yang mengakibatkan turunnya elektabilitas dan tercorengnya nama baik partai.
Pada hal kita tahu bahwa partai Golkar tidak kehabisan stok kader-kader berpotensial, kenapa harus orang-orang yang cacat hukum dan cacat moral menduduki posisi penting partai, sementara masih banyak kader yang lain yang jauh lebih layak dan punya potensi besar dalam memajukan dan memperbaiki partai Golkar. Entah, mungkin ini suatu permainan politik bagi mereka-mereka yang berkepentingan, tapi politik apapun bentuknya tidak harus menafikan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H