puisi Hasan Buche
Hari ini aku ingin mengenangmu
Membayangkan gelegar pekik membakar
Nyala api semangat berkobar
Darah tumpah menggenang
Jiwa raga meregang
melayang
Aku ingin menyedot didih merah darahmu
menghisap putih tulang derap langkahmu
Agar mengalir dan menyatu dalam diri
Mengisi merdeka yang kau beri
Tapi seperti kesaksian Toto
:
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Aku benar-benar takmampu
benar-benar mengenangmu
dengan benar
Yang melintas-lintas dalam kenang dan bayang
hanyalah kilatan-kilatan sosok-sosok
berkepala besar berbentuk takkaruan
dengan dada terbelah
memburai hati dan jantung
tergantung hitam membatu
Dengan liar dan bar-bar mereka menari-nari
dan bernyanyi-nyanyi sumbang tentang
Sorak-sorak bergembira
Sambil mereguk racik minuman
dari keringat, darah, dan air mata bangsa
Matanya tajam memancar tikam
Mulutnya menyeringai
berliur lendir
yang terus mengalir
Perutnya seperti melar
tak kelar lapar
menampung semua
yang mulutnya kunyah
sepenuh syahwat duniawi
Aku benar-benar takmampu
benar-benar mengenangmu
dengan benar
apalagi melanjutkan luhur
cita-cita juanganmuÂ
Aku menghormat kepada merah putih
yang gagah di angkasa Nusantara
Tapi sekali lagi, Â aku dengar deru gemuruh aduh dan keluh dari kebyar-kebyarnya
Malu, sangat malu
Sekadar mengenang saja
aku takmampu
Dan anugrah kemerdekaan
yang kau persembahkan sepenuh tulus
terkulai seperti tanpa nilai
dan pinta sederhanamu lewat Chairil
:
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami