Puisi Hasan Buche
saudaraku,
apakah rengekan rintihan
isakan tangisan keluhan
kesedihan takberkesudahan
dapat membatalkan kematian
apakah kamu mengira dengan berkubang dalam lumpur
ketidakpuasan ketidakterimaan
kemarahan kebencian
hujat cacimaki tak berkesudahan
dapat mengubah keputusan
dapat memperbaiki keadaan
kamu akan mabuk sendiri
gila sendiri
capek sendiri
semaput sendiri
energi terkuras
ion positif menguap
bersulap ion negatif
sehingga kamu lupa bahwa matahari harus disongsong
tiang-tiang harus dikokohpancangkan
barisan harus dirapatkan
rekatan harus dikuatkan
benteng-benteng harus dibanguntegakkan
orang-orang harus terus diterjagakan
panji-panji harus terus dikibarkan
kewaspadaan harus terus disiagakan
kekuatan harus terus ditingkatkan
kandidat harus terus dibesarkan
agar taklagi mudah digoyahkan
agar taklagi mudah dilemahkan
agar taklagi mudah dihancurkan
dibodohi dibohongi dicurangi
dimanipulasi
tapi apa yang bisa kamu lakukan untuk peperangan berikutnya
kalau cuma mengeluh dan melenguh
sementara para tikus ular srigala dan singa sedang mencekik leher piala-piala
berisi anggur merah
membasahi otak busuk
dan hati yang kering mereka
sambil terus terkekeh dengan liur meleleh dan taring menyeringai
menertawakan dan mengejek kedunguanmu
dengan penuh kepuasan mereka merayakan dan mengagungkan keculasan
sambil rebutan kursi dan roti
serta tak lupa membuka wacana
untuk menerkam dan melumatmu
agar takberdaya apa-apa di masa depan
ayolah saudaraku,
apakah kita hidup untuk hari lalu
kini atau esok
lihatlah, mereka yang menang dan yang kalah
sudah cipika cipiki sepenuh syahwat duniawi
mungkin mereka saling membisik
tentang icip-mengicip hal-hal seksi
tahu apa kamu
ini politik, saudaraku
jangan mudah terkecoh
hanya orang-orang dengan
mental berlapis baja
dan pandai melempar dadu
yang cocok di rimba liar ini
ini memang bukan dunia kita
kita akan sering terloncat kaget
menyaksikan polah mereka
sampai kita jadi sakit jiwa raga karenanya
sementara anak istri kita sedang
rindu memeluk rembulan
sudahlah, saudaraku
kembali saja ke ladang
garap dan semaisuburkan bibit cinta di huma asa mereka
lagi pun,
bukankah belajar dari kekalahan
meski kekalahan itu menyakitkan
karena diderita dengan kebohongan dan kecurangan lebih bijaksana
ketimbang meratapkutuki nasib hingga lupa bahwa kita masih punya masa depan yang harus diperjuangkan