Cermin Hasan Buche
Sangat cepat dan mendadak, kabut memerangkap kami. Teman-teman berteriak-teriak; ada yang meminta agar pendakian dibatalkan; ada yang ngotot minta diteruskan. Semua yang berteriak, meminta dengan tergesa.
"Cepat!"
Aku yang pendatang baru, panik menghadapi situasi ini. Aku kebingungan harus mendengarkan yang mana. Tapi aku sudah terlanjur mempercepat langkah. Berlari tepatnya. Gak tau ikut teriakan siapa. Berlari. Terus berlari. Hingga aku tangkap, teriakan teman-teman terdengar makin menjauh, sayup, dan hilang.Â
Tubuh mereka pun lesap ditelan warna putih yang pekat. Sekuat tenaga aku menyusul mereka. Berusa merapat. Aku mulai berteriak memanggil. Tapi satu pun tidak ada yang menjawab. Tidak terdengar lagi suara manusia. Hanya suara gemuruh angin yang dingin.
Aku mulai panik. Panik. Semakin panik. Panik sekali.
"Aaaa...!" teriakku setelah tergelincir karena menginjak bongkah batu berlumut. Aku melayang. Begitu ketakutan saat tubuhku melayang. "Aaaa...!" Aku merasakan tubuhku, tergesek dahan pohon. "Aaaa...!" Kepalaku terbentur batu tebung. Tersangkuk-sangkut. Sakit sekali. Dan, gedebum, kepala dan tubuhku menghantam batu besar. "Eeee...!" Aku masih sempat mengerang kesakitan. Masih sempat meraba kepala. Tapi setelahnya, aku tidak tahu. Gelap. Lenyap.
Aneh, tiba-tiba aku sudah berdiri di atas, ditempatku tergelincir. Tubuhku jadi sangat ringan. Mataku pun jadi lebih tajam. Hah? Ada tubuhku di atas batu di dasar jurang. Tergeletak dengan kepala berlumur darah. Aku berlari memburu teman-teman. Berlari? Bukan, aku bukan berlari. Ternyata aku terbang. Hah? Aku terbang. Aku bisa terbang.
Aku terbang menyusul teman-teman. Mudah sekali mencari mereka. Berhasil. Seneng banget. Aku sapa mereka sambil meminta maaf karena aku sempat terpisah dari rombongan. Tapi mereka mengabaikan aku. Mereka terus saja berjalan dalam kehati-hatian dan kepanikan.
Aku hampiri ketua rombongan. Kutepuk pundaknya, tapi seperti tidak melihat ada aku dan tidak merasakan kehadiranku. Aku dekati Anggia, kekasihku. Kurangkul bahunya sambil berbisik mesra di telinganya, "Hei, Cinta, kamu butuh pelakanku kan?" Tapi Anggia bergeming. Aku merasakan aneh saat merangkul Anggia. Seperti merangkul ruang kosong.
Keanehan makin runcing menjalari diriku. Aku dekati satu persatu seluruh anggota tim. Hasilnya sama, mereka tidak perduli. Bahkan hingga aku teriaki telinga mereka satu per satu, hasilnya sama saja. Mereka benar-benar mengabaikanku.