Catatan Hasan Buche
Baiklah, catatan ini saya mulai dengan sebuah pertanyaan besar, sudahkah para buruh dan organisasi yang menaunginya membaca tuntas draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja? Baik, anggap saja sudah. Walaupun saya yakin belum tuntas. Mengapa? Lebih dari 900 halaman yang terbagi dalam 15 bab, kapan dan bagaimana para buruh membaca, menelaah, dan menganalisa bab per bab, pasal per pasal, ayat per ayat untuk memahami RUU tersebut agar tidak malu di kemudian harinya kalau ternyata salah?
Tapi sudahlah, lupakan halaman-halaman tersebut karena kita sudah menganggapnya sudah terbaca tuntas dan dapat memahami tentunya. Kan bab dan pasal tentang buruh pun tidak tersebar di semua lembar halaman. Kawan-kawan buruh tentu hanya menyoroti beberapa butir masalah yang terkait langsung dengan dunia mereka.
Lagi pun, sudah menjadi standar mereka, sebelum melakukan aksi para pengurus serikat buruh dari tiap perusahaan, tiap ranting, tiap cabang, tiap daerah sampai pengurus pusat akan melakukan pertemuan untuk membahas isu-isu atau hal-hal yang akan dituntut atau ditolak. Setelah para pengurus mengetahui dan memahaminya, mereka akan meneruskannya kepada anggotanya. Sehingga setiap kali mereka turun demo tidak hanya sekadar ikut-ikutan atau sekadar karena terhasut.
Jadi jelas, mereka tahu dan paham. Agendanya pun jelas; Menolak atau menggagalkan UU Cipta Kerja. Lantas, setelah itu pertanyaannya adalah kepada siapa demo tersebut dialamatkan? Ya, DPR dan Pemerintah.
Selanjutnya, langkah-langkah atau aksi-aksi apa saja yang akan ditempuh saat demo berlangsung untuk menekan DPR dan Pemerintah agar membatalkan RUU tersebut? Apakah diantaranya adalah menciptakan kurusuhan, perusakan fasilitas umum, berbuat anarkis, dan memprovokasi petugas keamanan?
Jika jawabannya adalah tidak, mengapa hal tersebut, yaitu: kurusuhan, perusakan fasilitas umum, anarkis, dan provokasi terhadap petugas keamanan terjadi di lapangan? Kalau begitu siapa pelakunya?
Sebentar, ternyata di lapangan, selain para buruh terjumpa pula mahasiswa, siswa SMK/SMA, masyarakat, dan... penyusup (baca: provokator). Ini menarik. Kembali, kita lupakan dulu buruh, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Mari kita fokuskan perhatian kepada penyusup.
Pertanyaan-pertanyaan pun tiba-tiba bergerombol datang. Siapa mereka? Apakah penyusup? Yang menyusup di antara para buruh, di antara mahasiswa, dan penyusup? Mengapa mereka menyusup? Apa tujuannya? Apakah murni inisiatif pribadi? Jika murni inisiatif pribadi, apa manfaat buat mereka? Atau malah, jangan-jangan malah dari lembaga atau badan tertentu? Apakah mereka kelompok suruhan dan upahan? Siapa yang menyuruh dan mengupah?
Mereka bisa menyamar atau berpura-pura sebagai siapa saja: sebagai buruh, mahasiswa, atau masyarakat. Bergerombol dan berpura-pura jadi mereka. Tidak akan kentara. Karena akan kelihatan sama, serupa.
Bisa jadi mereka hanyalah individu atau kelompok suruhan dan upahan. Mereka sengaja disusupkan untuk mengacaukan jalannya aksi demo agar menjadi rusuh, tidak terkendali, dan chaos. Sehingga ada alasan pihak keamanan untuk membubarkan aksi demo secara tegas dan paksa. Tugas mereka memprovokasi. Hampir di setiap demo, demo apapun mereka menyusup.