"Oalah Daplun, Daplun. Baru jatuh dari pohon kelapa, eh... yang dicari malah kudi," ujar salah seorang di antara yang ikut membawa Pak Daplun.
"Bapak minum dulu ya," pinta Parti.
"Jawab pertanyaan Bapak dulu, Ti! Di mana kudi Bapak?"
Parti tak segera menjawab. Orang-orang, terutama ibu-ibu mulai mengerumuni Daplun.
"Alhamdulillah, rika esih urip."
"Lah iya, nembe bae Kang Tarman ninggal. Untunge rika selamet, Kang."
Daplun tak menghiraukan suara ibu-ibu itu. Ia masih ingin segera mengetahui kabar kudinya. "Di mana kudi Bapak, Ti?"
Parti paham betul dengan sifat bapaknya. Jika pertanyaan yang sama telah diulang lebih dari dua kali, berarti pertanyaan itu wajib untuk dijawab. Jika tidak, bapak tidak akan berkata apa-apa sampai pertanyaannya terjawab.
"Kudi Bapak sudah Parti lempar ke sungai, Pak," jawabnya dengan wajah menunduk. Ia tahu betul jika apa yang ia lakukan adalah sebuah dosa besar yang akan membuat bapaknya menderita. Barangkali menderitanya sebab kehilangan kudi jauh lebih sakit dibandingkan dengan menderitanya jatuh dari pohon kelapa setinggi sepuluh meter. Dan Parti paham betul apa yang semestinya ia lakukan. Tanpa diminta, ia segera berlari dengan terlebih dahulu mengenakan sandal jepitnya.
Di bawah pohon kelapa tempat bapaknya telentang tak berdaya, ia berhenti sejenak sebelum akhirnya kembali meneruskan langkahnya ke tepi sungai kecil dengan air yang mengalir cukup deras dan agak keruh. Matanya berkeliaran menyibak aliran sungai.
Tidak ada pilihan lain. Parti tetap harus mencari kudi bapaknya, bagaimanapun caranya, atau bapaknya akan mati dalam kemalangan yang begitu mendalam sebab kudinya tak dapat ditemukan.