"Aaarrrggghhh...."
Teriakan itu menggema pada suatu pagi dengan kabut tipis yang masih menyelimuti kampung itu. Teriakan itu sudah cukup untuk membuat orang-orang yang mendengarnya segera berlarian menuju sumber suara. Mereka paham betul dengan teriakan semacam itu, sebab seminggu yang lalu teriakan semacam itu juga membuat geger warga kampung.
Anak-anak di kampung itu sudah berangkat ke sekolah. Sebagian besar lelaki sudah berangkat ke kebun atau sawah. Menyisakan ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang sudah tidak bersekolah yang berada di rumah, termasuk Parti. Begitu mendengar teriakan itu, Parti yang sedang sibuk memasukkan bongkahan kayu ke perapian segera berlari. Ia bukan berlari sebab mendengar teriakan itu, namun sebab tahu persis sosok yang berteriak. Barangkali jika teriakan itu bukan dari sosok yang ia kenali suaranya, ia akan tetap sibuk di depan perapian.
Persis di belakang rumah Parti, berjejer pohon kelapa yang menjulang. Pohon-pohon itu adalah sumber penghasilan keluarga kecil Parti. Dan pemandangan serupa juga ditemui di hampir separuh kampung itu. Dan pohon-pohon itu juga menjadi sumber penghasilan sebagian besar keluarga di kampung itu. Meski kini jumlah penderes di kampung itu mulai berkurang sebab banyak anak muda yang enggan meneruskan pekerjaan bapaknya, namun itu tidak lantas mengurangi jumlah keluarga yang hidupnya masih bergantung dengan nira yang dihasilkan dari manggar di pucuk pohon kelapa.
Parti segera menemukan sosok yang berteriak itu di bawah pohon kelapa. Posisinya telentang. Tidak salah lagi. Sosok itu berteriak sebab terjatuh dari pohon kelapa yang licin setelah diguyur hujan semalaman. Separuh punggung sosok itu terbenam pada tanah yang becek. Barangkali jika tanah itu tidak becek dan tidak ada rerumputan di tempat sosok itu terjatuh, mungkin ia telah mati. Atau, andai sosok itu jatuh di bebatuan, mungkin ia juga telah mati. Namun, yang paling beruntung adalah kudi yang digunakan untuk memotong manggar tidak menimpa dirinya. Andai kudi itu jatuh di kaki atau tangan, barangkali kaki atau tangannya telah patah. Andai kudi itu jatuh di perut, barangkali ususnya telah berhamburan keluar dari perutnya seperti tikus yang mati terlindas mobil. Atau, andai kudi itu jatuh menimpa kepala atau leher, barangkali nyawanya telah melayang.
"Paaak...," teriak Parti dengan pipi yang basah oleh guyuran air mata.
Namun, sebelum Parti menolong sosok yang sudah dapat dipastikan adalah bapaknya, terlebih dahulu ia mengambil kudi yang menancap di tanah, persis di samping perut bapaknya. Ia menarik kudi itu dengan tangan yang bergetar hebat. Dalam benaknya, ia tak dapat menolak bayangan kudi itu menimpa tubuh bapaknya. Sesegera mungkin ia melempar kudi itu ke sungai kecil yang mengalir tak jauh dari tempat bapaknya terjatuh. Ia menghela napas sambil memandangi pongkor yang isinya telah kosong melompong, sebab air nira di dalamnya telah tumpah.
Tak lama setelah kudi itu tenggelam di dasar sungai, orang-orang yang juga mendengar teriakan telah sampai di lokasi. Mereka bersama-sama dengan Parti menggotong sosok yang di kampung itu biasa dipanggil Daplun. Sesampainya di rumah, Daplun dibaringkan di atas risban. Sementara salah seorang di antara mereka segera memanggil mantri.
"Parti...."
Parti yang sedang membawa segelas air putih dari dapur, segera duduk di tepi risban, sementara segelas air putih yang ia bawakan untuk bapaknya, ia letakkan di atas meja, di dekat risban.
"Di mana kudi Bapak?"