Mohon tunggu...
Akhsani Taqwim
Akhsani Taqwim Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa psikologi

seorang yang melakukan riset kecil-kecilan dengan ilmu titen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabar dalam Menghadapi Cobaan: Antara Wacana dan Praktiknya

13 Agustus 2020   12:28 Diperbarui: 13 Agustus 2020   12:30 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: uleva.com, dengan editing oleh penulis.

Sabar itu berat... karena hadiahnyasurgaBukan jam dinding, kipas angin, atau kompor gas

Acapkali kitamendengar kata-kata penenang dari orang lain seperti "sabar ya kamu bisa kokmelewati ini" atau "sabar ya dibalik musibah pasti ada berkah sekaligushikmah". Bahkan mungkin pernah juga sebagian diantara kita yang berkata sepertiini pada dirinya sendiri "udah apapun yang terjadi aku harus sabar". Tentu saja reaksi yang ditimbulkan dari kata-kata tersebutpun juga bermacam-macam ada yang menerimanya dengan lapang dada, ada yangmungkin menerimanya dengan setengah hati, bahkan mungkin ada juga beberapaorang yang bebal dengan kata-kata tersebut.

Terlepas dari hal-hal tersebut itutadi, pernah kah terbersit sebuah tanda tanya dibenak kita masing-masingsebenarnya bagaimana sih sabar itu? atau mungkin sebenarnya apa sih esensi darisabar itu sendiri. Untuk mengetahui sekaligus menjawab persoalan-persoalan itutadi, tentu saja kita membutuhkan ulasan dari para profesional yang mungkinlebih mengetahui mengenai hal tersebut.

Sebelum kita melangkah lebih jauh ke dalam, tidak tepatrasanya bila kita tidak mengetahui sesuatu yang dasar yaitu mengenai apa sihdefinisi dari sabar itu. Imam Ghozali dalam kitabnya "Ihya 'Ulumuddin" menggambarkanbahwa sabar merupakan kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajatorang-orang yang menempuh jalan menuju Allah.


Dan semua kedudukan agama itusesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkara yaitu:

"Ma'rifat, hal ihwal danamal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbul kan hal ihwal, dan halihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal ihwaladalah seperti dahan sedangkan amal perbuatan itu laksana buah-buahan. Keseluruhanhal tersebut itu tadi berlaku pada semua kedudukan orang-orang yang menempuhjalan menuju Allah SWT.


Tidaklah mengherankan jika Imam Ghozali mendefinisikansabar sebagai suatu proses untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuhdengan nafsu syahwat, yang dihasilkan oleh suatu keadaan. Sehingga jikadianalogikan hakikat sabar itu adalah sebagai dorongan agama yang menghadapidorongan hawa nafsu negatif manusia. Jika dorongan agama mampu melawan dan terusmenentang dorongan hawa nafsu negatif maka orang tersebut dikatakan termasukgolongan orang-orang yang sabar.


Dan jika dorongan agama lemah, dalam artimembiarkan hawa nafsu negatif menguasai maka orang tersebut dikatakan termasukgolongan pengikut syaitan. Jadi, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang didorongoleh nafsu syahwat adalah perbuatan yang dihasilkan oleh keadaan yang dinamakansabar yakni tetapnya dorongan agama dalam menghadapi dorongan hawa nafsunegatif.


Setelah mengetahui hal dasar mengenai arti dari sabar sertahakikatnya sampai pada poin ini mungkin ada sebagian dari kita yang membatin"halah... itu kan teorinya saja" atau mungkin "semua juga tau wacana semacamini". Tentu perkataan semacam itu juga bukanlah tanpa dasar. 'Teori' atau'wacana' mengenai sabar itu tadi memang secara sekilas jika dilihat haltersebut mudah untuk dilakukan. Namun dalam prakteknya tidak demikian. Bersabarketika mendapat cobaan sulit dilakukan karena normalnya ketika mendapat cobaanhal pertama yang dilakukan manusia adalah mengeluh.


Keluh dan kesah seolahsudah menjadi hal yang selalu ada tatkala cobaan datang. Hal tersebut adalahwajar untuk dilakukan namun tentunya dalam batas-batas tertentu. Misalnya sajasetelah berkeluh kesah kita kembali berpikir positif dan mencari sudut pandanglain dari cobaan yang kita hadapi dengan demikian 'sabar' sangat memungkinkanuntuk dilakukan. Namun jika kita terus menerus berkeluh kesah dengan cobaanyang kita hadapi hal tersebut hanya akan mendatangkan pikiran dan aura negatif.Alih-alih kesempatan yang didapat, malah banyak kesempatan yang terlewat.


Ketikakita bersabar dalam menghadapi cobaan tentu tidak hanya sebatas ngempet (jw:menahan). Melainkan harus benar-benar rela, ikhlas, dan ridho dengan cobaanyang kita hadapi itu tadi. Jika kita bersabar hanya untuk bertahan maka tatkalapenahan tersebut itu jebol pasti sabar juga akan hilang dan digantikan oleh halyang kita tahan itu tadi.


Misalnya begini ketika kita mendapat cobaan, kitabersabar untuk tidak menggerutu, mengeluh, dan berkesah namun hal tersebuttidak dibarengi dengan rela, ikhlas, dan ridho. Maka jika nanti kita sudahtidak kuat bukan lagi sabar yang hadir melainkan keluh dan kesah yangberkepanjangan yang telah ditahan itu tadi. Namun, berbeda lagi ceritanya jikakita bersabar menghadapi cobaan dengan rela, ikhlas, dan ridho.


Maka keluhkesah serta gerutuan akan terminimalisir. Dari sinilah muncul istilah jikalau"sabar itu ada batasnya". Sejatinya batas dari kesabaran itu yang membuatadalah kita sendiri kalau sabar itu sendiri tidak terbatas. Jadi selama kitamasih menyentuh batas kesabaran kita maka hal itu masih belum disebut dengansabar melainkan latihan untuk bersabar. Tentu saja hal tersebut juga bukanlahhal yang buruk sebab setidaknya kita sudah mencoba untuk bersabar. Siapa tahusedikit demi sedikit latihan yang kita jalani itu tadi akan membuahkan hasil.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun