Mohon tunggu...
Haryo WB
Haryo WB Mohon Tunggu... Penulis - Sinau Bareng
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis merangsang refleksi, jadi jika kamu tidak bisa mereflesikan sesuatu untuk ditulis, tetaplah mencoba untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Tentang Cytrox, Belajar dari Kisah Penyadapan Jokowi

18 Desember 2021   11:53 Diperbarui: 18 Desember 2021   12:02 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Dalam tulisan berjudul Sepak Terjang Perusahaan Intelijen Israel, Penyewanya asal Indonesia dan tulisan lama saya berjudul  Tentang Ulah Penyadapan Australia cukup jelas saya ungkapkan keprihatinan publik atas dinamika keamanan dan intelijen, tentang kegiatan mata-mata menggunakan teknologi komunikasi yang juga menimpa Indonesia. Dalam laporan Meta Platform Inc., Threat Report on theSurveillance-for-Hire Industrys sangat jelas bahwa Cytrox disebut disewa oleh pihak di Indonesia. Sayangnya, Meta Platforms Inc,. tidak mengungkap siapa penyewa dan sasaran Cytrox di Indonesia.

Memenuhi tanggapan atau komentar kompasianer, terkait perkembangan Sepak Terjang Perusahaan Intelijen Israel, Penyewanya asal Indonesia dan saya dalam tulisan tersebut menutup dengan kalimat '...jadi ingat kasus penyadapan Jokowi'.  Mengangkat analisa mengenai kasus penyadapan terhadap Jokowi, berikut  beberapa praduga yang dikumpulkan berdasarkan fakta-fakta intelijen yang tidak dapat digunakan di pengadilan maupun tidak dimaksudkan untuk memojokkan individu, kelompok tertentu atau menuduh secara sembarangan. Analisa ini hanya memuat prakiraan maupun dugaan logis yang belum tentu benar, sehingga kepada para kompasianer maupun pembaca diperlukan kejelian, kepekaan dan ketelitian guna menghindari kesalahpahaman.

Dalam Tempo, 12 Februari 2014 dengan judul Jokowi Merasa Disadap Sejak Agustus 2013 kemudian Detik, 20 Februari 2014 dengan judul PDIP: Jokowi Disadap, Mega Dibuntuti. Pernyataan Jokowi dan Tjahjo Kumolo tersebut jelas segera menyerap perhatian publik dan mulailah berbagai komentar mewarnai jagad pemberitaan di berbagai media.  Kasus yang terungkap pada Desember 2013 tersebut merupakan hasil pemeriksaan tim Pemprov DKI yang menemukan tiga alat sadap yakni di kamar tidur, ruang makan dan ruang tamu. Hal ini menghasilkan sejumlah spekulasi tentang siapa yang melakukan penyadapan tersebut.

Saat itu, pelakunya terdeteksi adalah warga Indonesia dan warga asing. Hal ini tentunya mengundang spekulasi lain, Ruhut Sitompul tidak percaya dengan pengakuan temuan alat sadap di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Ruhut menuding pengakuan tersebut hanya akal-akalan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). "Ah, itu sih sudahlah, paling-paling hanya bikinan PDI-P saja itu," kata Ruhut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (20/2/2014). Meskipun tuduhan Ruhut tersebut tidak berdasarkan fakta, namun berdasarkan logika dapat diterima bahwa cara penanganan kasus penyadapan agak janggal dan cenderung secara sengaja menyebabkan masyarakat berspekulasi masing-masing tanpa memperoleh kejelasan. Singkat kata kasus ini semakin meningkatkan ketokohan Jokowi yang menyebabkan persepsi baru di masyarakat sebagai orang yang layak disadap, ditakuti musuh politik. Beberapa rangkaian kisah penzaliman terhadap PDIP terus berlanjut dengan berita-berita lain misalnya tentang Megawati yang juga dibuntuti, PDIP tahu siapa penyadap, disadap nikmati saja. Semakin jelas arah politisasi dan pemanfaatan kasus penyadapan tersebut oleh PDI Perjuangan.

Salah satu yang mengejutkan justru datang dari Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin yang dalam selang waktu sangat singkat mengeluarkan pernyataan bahwa institusi pertahanan tidak terlibat kasus penyadapan Jokowi. Berdasarkan logika justru membuat spekulasi bahwa penyadapan tersebut memiliki korelasi dengan institusi pertahanan. Mengapa demikian, karena secara teori seharusnya Wamenhan tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang mendahului arah berkembangnya kasus penyadapan. Saya yakin para perwira militer yang yang memiliki pengalaman dalam operasi informasi akan melakukan kalkulasi matang sebelum mengeluarkan pernyataan publik. Apa yang dilakukan Wamenhan adalah early direct response untuk mencegah terjadinya spekulasi yang merugikan pihak yang mengeluarkan pernyataan. Namun hal ini harus berdasarkan pada kalkulasi kemungkinan arah pengembangan penyelidikan kasus. Sebuah blunder terburuk dalam operasi informasi.

Kemudian, menyusul Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Marciano Norman membantah menyadap Gubernur DKI Joko Widodo. Ditegaskannya, sebagai aparat intelijen negara, BIN tidak mungkin melakukan hal semacam itu. "Saya pastikan bahwa kami tidak lakukan itu apalagi terhadap beliau, pejabat yang kami hormati," kata Marciano kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/2/2014). Pernyataan tersebut beberapa hari setelah polemik penyadapan Jokowi berkembang di media massa. Suatu hal normatif dan harus dilakukan oleh Kepala BIN dalam rangka menjernihkan spekulasi-spekulasi liar yang berkembang di masyarakat, terlebih setelah kasus 'penculikan' mantan Ketua Umum Subur Budhisantoso dari acara yang digagas kubu Anas Urbaningrum.

Dalam hal ini, khusus untuk institusi intelijen sebesar Badan Intelijen Negara (BIN), perlu diketahui bahwa alat sadap yang dipasang di kediaman Jokowi bagi institusi intelijen BIN termasuk mainan yang tidak terlalu canggih. BIN dalam isu politik telah berkomitmen untuk netral dan tidak terlibat dalam kompetisi pada politisi untuk mencapai kekuasaan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono yang sangat dekat dengan PDI Perjuangan. AM Hendropriyono menjamin bahwa penyadapan terhadap rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bukan dari kalangan TNI karena prosedur penyadapan di BIN diikat oleh pengaturan ketat dalam konteks pertahanan negara. Pandangan Hendopriyono senada dengan pandangan umumnya petinggi PDI Perjuangan.

Jika demikian, kisah tentang penyadapan Jokowi ini dengan mencermati teknologi usang alat sadap, dan reaksi-reaksi yang berkembang serta klaim bahwa PDI Perjuangan sudah mengetahui siapa yang melakukan penyadapan. Maka, kasus penyadapan Jokowi hanya ulah konyol kelompok kepentingan amatir yang berupaya memperoleh informasi secara ilegal tentang kegiatan dan sikap Jokowi yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk kepentingan finansial karena banyak pihak yang tertarik untuk mengetahuinya.

Lalu, bagaimana dengan Cytrox yang disebut disewa oleh pihak di Indonesia, untuk kegiatan mata-mata dengan menggunakan teknologi komunikasi canggih. Siapa yang berpotensi melakukan pengintaian dengan menyewa perangkat mata-mata buatan Israel? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun