Revolusi Industri 4.0 telah melahirkan banyak kemajuan bagi umat manusia. Teknologi sangat berkembang dan dapat dimanfaatkan untuk kecerdasan buatan dalam diagnosa medis hingga teknologi selular untuk pengumpulan data dan pelacakan kontak. Tetapi sayangnya, teknologi ini belum merata distribusinya ke seluruh dunia. Bagi negara-negara berkembang, seperti halnya negara kita Indonesia, tentu ini adalah sebuah kerugian karena membuat bangsa kita menjadi sasaran empuk penyebaran wabah yang terjadi saat ini.
Teknologi yang beraneka ragam ini terbukti sangat membantu dalam penanganan pandemi. Kecerdasan buatan dan teknologi menghasilkan alat pengumpulan data untuk membantu melacak kontak, memeriksa gejala, dan memprediksi wabah dan resiko penyebaran.Â
Apple dan Google misalnya, telah bermitra untuk mengadaptasi teknologi Bluetooth seluler untuk pelacakan kontak. Platform berbasis komputasi awan memudahkan pekerja dan pelajar untuk melakukan semuanya dari jarak jauh.Â
Begitu pula pemanfaatan drone dan robot yang bisa mengirimkan pasokan medis ke fasilitas kesehat serta obat-obatan dan makanan kepada pasien yang terinfeksi.Â
Perkembangan fintech, dalam hal ini uang digital, telah memungkinkan para vendor dan konsumen untuk tidak menggunakan uang tunai. Kemajuan nanoteknologi juga memainkan peran penting dalam diagnosa cepat, terapetik, serta monitoring dan pengembangan vaksin.
Seperti yang telah kita singgung di awal tulisan, bahwa tidak semua negara memiliki kemampuan yang sama dalam pemanfaatan teknologi tersebut. Hal ini bergantung pada infrastruktur fisik dan digital, serta sumber daya manusia yang bisa memanfaatkannya. Profesor Landry Signe dari Universitas Stanford menggolongkan negara-negara tersebut menjadi empat kategori :
a. Kapasitas tinggi, penggunaan tinggi. Negara dengan kapasitas tinggi dan efektifitas tinggi telah bisa memanfaatkan Revolusi Industri 4.0 secara efektif untuk melawan pandemi.Â
Pada tahun lalu misalnya, Jerman telah berhasil mempertahankan tingkat kematian relatif lebih rendah daripada negara Eropa lainnya dan menggunakan data lokasi dari smartphone untuk melakukan contact tracing.Â
Korea Selatan juga sejak awal pandemi, telah menggunakan aplikasi mobile untuk melaporkan gejala, dan memanfaat kecerdasan buatan untuk chatbot serta menyebarkan informasi berdasarkan kondisi dan lokasi pengguna.Â
Hal ini didukung oleh regulasi di Korea Selatan yang mana Kementrian Kesehatan memiliki kekuasaan untuk mengumpulkan data dari operator telekomunikasi, transaksi kartu kredit, GPS dan sumber-sumber lain, dan aparat akan langsung secara otomatis diberitahu sistem bila seseorang melanggar karantina wajib.
b. Kapasitas/ kemampuan tinggi, penggunaan rendah. Dalam negara kategori ini, sistem layanan kesehatan mungkin bisa terlambat merespon bahaya yang akan terjadi apabila tidak bisa mengintegrasikan teknologi yang bisa mereka manfaatkan. Pada awal pandemi, hal ini terjadi pada Amerika Serikat dan Spanyol. Meski situasi telah berubah saat ini pada negara-negara tersebut.