Mohon tunggu...
Haryo Utomo
Haryo Utomo Mohon Tunggu... Dosen -

S3 Ilmu Politik UI, Akademisi Universitas Bung Karno, Relawan Tzu Chi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Daftar Ulama dari Kemenag

20 Mei 2018   19:41 Diperbarui: 20 Mei 2018   20:46 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk menjawab pertanyaan, maka kita perlu melihat ini sesuai kaidah demokrasi. Kaidah demokrasi menjamin kemerdekaan opini, dan negara idealnya tidak boleh intervensi wacana agama. Negara hanya boleh menindak jika terjadi kejahatan atau kriminalitas. 

Sebagai contoh, seorang tokoh rasialis di Amerika menyatakan opini rasialis terhadap minoritas. Di Amerika Serikat, negara tidak akan menindak opini, kecuali jika tokoh rasialis tersebut membunuh orang lain. Negara tentu akan bertindak dan mengadili pelaku, dengan delik pembunuhan, namun bukan atas dasar opini.

Lalu bagaimana jika ada tokoh berbicara mengenai isu anti negara bahkan menyuarakan disintegrasi atau anti pemerintahan yang sah?. Di dalam konteks ini, selama tokoh tidak menggerakkan massa bahkan tidak melakukan aksi kekerasan, maka itu bukan wewenang negara.

 Hanya saja, sesuai dengan prinsip hukum, negara memang bisa saja memantau wacana. Hal itu bagian dari peran negara untuk menciptakan ketertiban hukum, dan negara berhak bersikap aktif untuk mencegah potensi ancaman keamanan dan pertahanan nasional. 

Berkaitan dengan isu ulama versi Kemenag, maka kita bisa melihat keberadaan ulama yang berada di level kultural, dan tidak selalu berasal dari level struktural organisasi keagamaan tertentu. 

Kita menyadari bahwa ada perbedaan antara ulama yang menjadi bagian organisasi dengan yang tidak berafiliasi dengan ormAs. Yang tidak berafiliasi ada dua kemungkinan, yaitu bisa saja secara kultural sama dengan ormas-ormas Islam tertentu atau tidak sama sekali tidak terkait.

Berkaitan dengan ini tentu kita perlu melihat sisi lain. Kita tentu perlu mendorong keberadaan ulama ormas Islam manapun untuk semakin membumi dengan masyarakaT. Selain itu, ormas perlu semakin mendekati para ulama kultural.

Pada konteks ini, penulis menawarkan ide mengenai pembentukan entitas otoritas keagamaan yang berasal dari masyarakat. Kita bisa mencontoh dari Mesir yang memiliki Al Azhar sebagai pusat standardisasi ulama Mesir. Indonesia jelas perlu memiliki Al Azhar yang khas Islam Nusantara yang Berkemajuan. 

Jika kita berbicara mengenai satu standar yang sama, maka kita bisa memiliki ulama yang berdiri sesuai standar nasional, dan tidak diikat dengan standar ormas Islam manapun.

Tabik.

Haryo Ksatrio Utomo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun