Mohon tunggu...
Haryati Madyawiyana
Haryati Madyawiyana Mohon Tunggu... -

green education teacher (volunteer) Pertamina Foundation 2013

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Kakes Terbatasi

12 Januari 2014   07:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Habis sudah" jawab Mama Hanny, sambil tertawa.  Lalu, Mama Hanny mulai bercerita jenis-jenis pinang beserta harganya. Tiga buah pinang ditambah batang sirih dan satu sendok makan abu kapur dijual dengan harga Rp 15.000. Ini namanya pinang ojeg. Pinang ojeg itu jualannya satu paket: pinang, sirih, sama kapur, sudah diracik. Jadi pembeli tinggal makan saja, tidak perlu meraciknya lagi. Nah, ada lagi yang dijualnya per satuan atau per jumput. Satu jumput pinang atau satu jumput sirih kadang ada yang jual Rp 10.000,-. Para pembeli yang akan meraciknya sendiri.

Nah, dari sini saja dapat dilihat bahwa dari hasil penjualan buah pinang ini, para mama di Papua mampu membantu meningkatkan ekonomi rumah tangga, termasuk memenuhi biaya hidup dan pendidikan.

Menginang Tak Mengenal Kelas

Jangan heran ketika orang Papua tertawa lebar, giginya tampak berwarna hitam kemerahan. Lalu, adakah hubungan antara buah pinang dan nilai kekerabatan?

Saya mendapati di dalam suatu artikel bahwa tradisi yang tak mengenal kelas ini ternyata memiliki nilai kekeluargaan dan kebebasan berekspresi. Nilai-nilai budaya seringkali merupakan ungkapan nyata dari kearifan generasi terdahulu dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan menjalankan kehidupan secara lebih sejahtera. Budaya menginang dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya merupakan salah satu warisan pengetahuan tradisional yang memiliki nilai-nilai positif, sehingga perlu dilestarikan, termasuk pada masyarakat di Papua. Selain itu, kegiatan ini juga bernilai tinggi dalam adat kebiasaan masyarakat Papua, dalam upacara kelahiran, perkawinan, atau ritual adat lainnya, pinang adalah yang pertama disuguhkan kepada seluruh tamu yang hadir.

Di setiap pertemuan formal atau nonformal menginang wajib dilakukan oleh peserta pertemuan, terutama para tetua adat. Tidak menginang berarti bukan "anak adat". Karena itulah, para tetua adat yang datang ke suatu acara selalu membawa sirih, pinang, dan kapur. Sebab, dalam kesempatan seperti itu bakal ada acara saling menawarkan sirih pinang dan abu kapur, meski penyelenggara acara menyediakan sirih dan pinang. Orang dinilai beretika jika dia sering menawarkan sirih dan pinang kepada orang lain. Mereka menjadikan sirih dan pinang sebagai sarana komunikasi dalam pergaulan dan bersosialisasi dengan lingkungan di mana ia berada.

Pada tahun 1930-an seorang pendatang dinilai memiliki moral dan etika jika dia mampu mengunyah pinang, sirih, dan abu kapur yang ditawarkan kepala suku. Menolak tawaran memakan pinang berarti menolak adat, sekaligus menolak keberadaan masyarakat asli tersebut. Menginang merupakan alat membangun persaudaraan, sarana komunikasi, bahan dialog dan diskusi, menjamu tamu, serta mengambil keputusan dalam adat.

Menginang memiliki nilai kesamaan budaya, serta rasa senasib dan sependeritaan. Dalam melakukan musyawarah adat, tradisi menginang lazim mengawali pertemuan. Orang tidak akan berbicara jika semua peserta belum menginang atau belum ada bahan untuk menginang di tempat pertemuan. Karena itu, tak perlu heran jika setiap ada pertemuan 2-3 orang Papua, di situ ada acara menginang. Sambil menginang orang-orang itu akan bercerita dengan santai, berdiskusi, bahkan berceramah, atau mengajar di depan kelas. Para pegawai negeri sipil atau pejabat daerah tak jarang terlihat menyimpan buah pinang, sirih, dan kapur di dalam saku celana atau tasnya.

Area Bebas Ludah Pinang!

Meskipun mengunyah pinang adalah tradisi yang masih dipertahankan di Papua, tapi tidak semua tempat memberikan ruang untuk si buah pinang ini. Pada suatu kesempatan, saat saya sedang jalan-jalan mendapati suatu tempat umum yang di dalamnya jelas-jelas nyata tertulis di sana, "Area Bebas Ludah Pinang!" Meskipun ada tulisan itu, saya sama sekali tidak menemukan tempat pembuangan ludah pinang yang disediakan di tempat ini. Karena memang jarang didapati tempat umum di Papua yang menyediakan tempat pembuangan ludah pinang. Sebagaimana tempat sampah yang sering kita dapati di tempat umum. Jalan satu-satunya bagi si pemakan buah pinang adalah membawa kantong plastik sendiri untuk menampung ludah pinangnya. Lalu, jika membawa kaontong plastik ini tidak dilakukan maka lambat laun bisa jadi "Area Bebas Ludah Pinang!" itu akan berubah menjadi "Dilarang Mengunyah Pinang di Sini!" Bayangkan jika tradisi makan pinang dibatasi, ribuan orang Papua akan kehilangan mata pencaharian terutama mama yang berupaya membantu perekonomian keluarga. Jadi, jika pembatasan kakes ini dilakukan bukan hanya berkaitan dengan kebersihan suatu tempat, tapi lebih dari itu merupakan penghilangan budaya dan potensi ekonomi masyarakat Papua. (Disarikan dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun