Mohon tunggu...
Haryani Kusuma
Haryani Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya akan mulai menulis.....

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Apa Itu Biopestisida?

21 Desember 2023   11:19 Diperbarui: 21 Desember 2023   12:06 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Pernahkah kalian mendenger kata biopestisida?

Biopestisida adalah zat hidup yang dapat mengatasi hama, di mana "bio" menunjukkan kehidupan, "pest" merujuk pada organisme pengganggu yang dapat menyebabkan penyakit atau kematian, dan "sida" diartikan sebagai pembunuh. Biopestisida melibatkan berbagai bahan dari tanaman, hewan, mikroba, atau protozoa yang memiliki potensi untuk menghilangkan hama. Tumbuhan yang kaya akan senyawa aktif dapat berperan sebagai pertahanan, daya tarik, agen antifertilitas, zat pembunuh, antioksidan, dan antimikroba. Pestisida nabati atau biopestisida adalah pestisida yang dibuat dari bahan tumbuhan. Dengan dasar bahan organik ini, penggunaan biopestisida dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan lebih ekonomis karena tidak menggunakan bahan kimia sintetis (Meilin, A., Nasamsir, N., & Handana, J. F. (2023). Indonesia memiliki beragam jenis tumbuhan yang menghasilkan pestisida alami. Diperkirakan terdapat sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk dalam 235 famili. Beberapa tumbuhan memiliki potensi sebagai biopestisida karena mengandung senyawa kimia tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Kulit durian mengandung senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, saponin, dan polifenol sebesar 8,31 mg/g. Senyawa ini memiliki peran sebagai antioksidan dan antimikroba yang efektif sebagai pembasmi hama (Kusumaningsih, 2018; Hartini, dkk, 2018).
  2. Daun lamtoro (Leucaena leucocephala) memiliki potensi sebagai biopestisida karena mengandung senyawa metabolit sekunder seperti tanin, alkaloid, saponin, dan flavonoid. Senyawa ini dapat digunakan sebagai pengendali hama ulat grayak (Saputri, dkk, 2020).
  3. Lada (Piper nigrum L.) dapat dimanfaatkan sebagai larvasida alami karena mengandung senyawa seperti alkaloid piperin (5,3-9,2%), kavisin (1%), metilpirolin, dan minyak atsiri (1,2-3,5%) dengan berbagai komponen seperti felandren, dipentene, kariofilen, enthoksilin, dan limonene. Konsentrasi 1% dari kandungan senyawa lada dapat mematikan larva dengan tingkat kematian tertinggi (Hikmawati, 2016 dalam Solihat, dkk, 2021).
  4. Kipahit (Tithonia diversifolia) mengandung senyawa seperti sesquiterpene lactones, diterpenes, flavonoid, sterols, phytosterols, xanthans, coumarins, ceramides, dan chromones. Ekstrak diklorometana daun kipahit pada 1000 ppm memiliki aktivitas insektisida tertinggi, menyebabkan 70% kematian semut pekerja Ata cephalotes (Panjota, et al., 2020).
  5. Kulit bawang mengandung senyawa aktif termasuk mineral (Ca, K, Mg, P, Zn, Fe), hormon auksin, dan giberelin. Kulit bawang merah dan putih mengandung acetogenin yang bermanfaat sebagai pengendali dan pembunuh hama serangga pada tanaman (Shofiyah, 2018).

Top of Form

Selain kelima contoh tanaman di atas masih banyak lagi tanaman dan bahan organik yang padat digunakan sebagai biopestisida. Perlu adanya pengenalan dan pengkajian lebih banyak untuk dapat mengetahuan bahan-bahan alami yang dapat digunakan sebagai biopestisida. Saat ini semakin banyak penelitian bagian tanaman yang akan digunakan sebagai biopestisida baik daun, buah, batang dan bagian lainnya.

Biopestisida yang sering digunakan dalam mengatasi masalah hama yang mengganggu budidaya pertanian ialah bioinsektisida, biofungisida dan bioherbisida.

  • Bioinsektisida merujuk pada semua makhluk hidup (bakteri, virus, jamur atau kapang, protozoa, tanaman, hewan) yang dapat dimanfaatkan untuk mengontrol serangga hama. Semakin berkembangnya teknologi, para ahli serangga (entomologi) mengembangkan jamur patogen yang sering menyebabkan kematian pada serangga. Kini dikenal dengan mikrobial insektisida berbahan aktif jamur. Dalam buku Biopestisida, Suwahyono, 2009 menjabarkan perjalanan penelitian bioinsektisida oleh para ahli. Pada tahun 1879, Metchnikoff dan Pasteur melakukan penelitian dengan menggunakan jamur Metarhizium anisopliae guna mengendalikan larva kumbang pada biji gandum. Beberapa peneliti di Amerika Serikat juga memproduksi dan menyebarkan jamur Beauveria bassiana untuk mengendalikan kepik Blissus leucopterus yaitu hama pada tanaman gandum dan jagung. Keberhasilan dalam pengembangan jamur patogen, para ahli melanjutkan pengembangan penggunaan organisme patogen terhadap serangga mulai dikembangkan, yakni melalui infeksi bakteri dan virus.
  • Biofungisida adalah kategori organisme hidup yang dapat digunakan untuk mengatur pertumbuhan jamur yang menjadi penyebab kerusakan pada tanaman, hewan, dan manusia. Penyakit utama pada tanaman budidaya seringkali disebabkan oleh jamur yang dapat menyebabkan pembusukan pada akar atau pangkal batang tanaman. Pengembangan biofungisida merupakan fokus utama para ahli dalam bidang penyakit tanaman atau fitopatologi. Cara mengendalikan jamur patogen dengan memanfaatkan jamur parasit dikenal sebagai biofungisida atau mikroba fungisida yang memiliki bahan aktif berupa jamur.
  • Bioherbisida digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu. Gulma cenderung dapat tumbuh di kondisi lingkungan yang sulit dan dengan cepat meluas di habitat yang subur. Kompetisi terjadi karena persaingan nutrisi atau cahaya. Selain itu, gulma juga dapat menghasilkan zat cair yang memiliki potensi untuk merusak tanaman lain atau tanaman yang sedang dibudidayakan.

Manfaat biopestisida, jika dinilai dari aspek sosial ekonomi, lingkungan, dan kegiatan pertanian, memberikan dampak positif yang berarti. Dari perspektif sosial ekonomi, pengelolaan hama dan penyakit tanaman merupakan elemen yang tak terpisahkan dalam proses produksi pertanian. Telah dilakukan penelitian terkait dampak sosial ekonomi dari penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). Dari perspektif lingkungan, biopestisida diharapkan mampu mengurangi laju dampak negatif yang biasanya terjadi akibat penggunaan pestisida konvensional. Dalam konteks usaha pertanian, penggunaan biofungisida sebagai biopestisida dapat membantu mengatasi masalah jamur busuk akar. Mikroba yang terdapat dalam biofungisida menghasilkan bahan aktif seperti hormon pertumbuhan yang mampu merangsang pertumbuhan akar tanaman, meningkatkan sistem perakaran, dan pada akhirnya, memperbaiki produksi tanaman. Pemanfaatan biopestisida menjadi faktor kunci dalam usaha pengurangan biaya produksi. Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA), risiko lingkungan yang diakibatkan oleh biopestisida cenderung lebih rendah daripada bahan kimia sintetis.

Semoga bermanfaat...

Terimakasih.

Sumber bacaan:

Hartini, N., Richana, S., Triwibowo, B., Qudus, N., & Kusumaningtyas, R. D. (2018). Sintesis Nanoenkapsulasi Ekstrak Kulit Durian dengan Metode Spray Drying dan Aplikasinya sebagai Biopestisida. Jurnal Teknik Kimia dan Lingkungan, 2(2), 89-95.

Kusumaningtyas, R. D., Suyitno, H., & Wulansarie, R. (2018). Pengolahan Limbah Kulit Durian di Wilayah Gunungpati Menjadi Biopestisida yang Ramah Lingkungan. Rekayasa: Jurnal Penerapan Teknologi dan Pembelajaran, 15(1), 38-43.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun