[caption caption="Menara Pandang Banjarmasin (dokpri)"][/caption]
Berlakunya undang-undang otonomi daerah tentunya memberikan angin segar bagi pemerintah daerah untuk dapat memajukan daerahnya masing-masing dengan segala potensi yang dimilikinya. Saat ini kepala daerah berlomba-lomba menawarkan potensi daerahnya sebagai upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Potensi suatu daerah saat ini ibarat sebuah produk yang lazim diberi merek (brand) agar memiliki ciri yang membedakan dengan daerah lain.
Salah satu sektor yang yang sedang menjadi primadona adalah pariwisata. Kita harus bersyukur negara kita Indonesia dianugerahi keindahan alam yang memikat. Banyak daerah berlomba-lomba “menjual” keindahan alam ini.
Bahkan Indonesia melalui Kementerian Pariwisata pun menerapkan strategi city branding pada beragam destinasi untuk menggenjot kinerja sektor pariwisatanya, termasuk untuk menarik kunjungan wisatawan yang ditargetkan mencapai 20 juta wisatawan mancanegara pada 2020.
Konsep branding dalam dunia bisnis sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Oleh karena itu, banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat mempromosikan brand-nya kepada masyarakat luas.
Begitupun dalam konsep brand pariwisata, dengan potensi penerapan otonomi daerah serta meluasnya tren globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berupaya untuk merebut pasar, khususnya para wisatawan dan investor ke daerah masing-masing. Dengan kata lain, daerah pun membutuhkan brand yang kuat.
Di level dunia, jika kita bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, mungkin kita merasa jengkel karena orang-orang di sana mengenal Bali, tetapi tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Bahkan, yang lebih menjengkelkan, mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia atau Singapura, tetapi tidak kenal dengan Indonesia, negara yang notabene jauh lebih besar daripada dua negeri jiran tersebut.
Menggemaskan memang, tapi itulah kenyataannya yang terjadi. Malaysia dan Singapura lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia membranding dirinya Truly Asia, sementara Singapura menjual slogan Uniquely Asia. Sementara negara tetangga sudah lebih dulu dan gencar membranding negaranya, Indonesia melalui Kemeterian Pariwisata membuat slogan Wonderful Indonesia. Meski belum se-ngetop Malaysia Truly Asia, tapi minimal kesadaran akan branding sudah mulai dibangun.
Di dalam negeri persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis, tapi juga antardaerah. Sebenarnya hal itu merupakan fenomena yang menggembirakan. Setiap daerah berlomba-lomba ingin lebih dikenal, lebih dilirik investor, lebih mampu menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, lebih ramai transaksi perdagangannya dan sebagainya. Semua itu akan membuat uang yang datang dan beredar di daerah lebih banyak. Dalam konteks itulah city branding menjadi penting. Sayangnya masih banyak pemimpin daerah yang belum sadar akan pentingnya city branding, terutama daerah yang kaya sumber daya mineral.
Lalu, seberapa penting city branding?
Menurut Rhenald Kasali, sejatinya city branding mencakup aspek yang sangat luas. Sayangnya, kalau melihat slogan atau tagline city branding-nya, tampaknya lebih banyak terfokus pada kegiatan pariwisata. DKI Jakarta mengusung slogan Enjoy Jakarta. Lalu, Jogjakarta dengan Jogja Istimewa. Pekalongan men-branding diri sebagai Kota Batik, Solo mengusung The Spirit of Java dan lain sebagainya.