Sejak pertama kali digelar tahun 1996, belum  sekalipun Timnas Indonesia mengangkat piala pada ajang yang dulunya bernama Piala Tiger ini. Prestasi terbaik yang ditorehkan Timnas adalah runner up. Sejarah mencatat sebanyak 5 kali Timnas Indonesia berhasil masuk ke partai final, namun selalu gagal.
Pelatih lokal maupun internasional silih berganti ditunjuk menukangi Timnas, namun trophy Piala AFF sebagai lambang supremasi sepakbola Asean tak kunjung bisa dibawa pulang. Mereka adalah Danurwindo (1996), Rusdy Bahalwan (1998), Nandar Iskandar (2000), Ivan Kolev (2002), Peter Withe (2004 dan 2007), Benny Dollo (2008), Alfred Riedl (2010, 2014, 2016), dan Nil Maizar (2012). Pada edisi 2018, nama Bima Sakti ditunjuk secara mendadak menggantikan Luis Milla yang konon tak kunjung datang ke Indonesia. Banyak yang pesimis dengan penunjukan mantan pemain PSSI Primavera tersebut, salah satunya karena minimnya pengalaman.
Dan akhirnya apa yang dikhawatirkan pendukung Timnas pun terjadi. Hanya meraih satu kali kemenangan yaitu saat menjamu Timor Leste (1-0), Timnas Indonesia yang digadang-gadang menjuarai turnamen ini harus mengubur impian. Hasil minor melawan Singapura (0-1) dan dibantai Thailand (2-4) seolah memastikan datangnya kutukan Piala AFF lebih cepat, tak perlu menunggu hingga partai Final.
Ya, di kejuaraan ini Timnas Indonesia seperti berada dalam kutukan. Timnas Indonesia selalu kandas dalam 5 partai final yang dijalani. Selama 20 tahun perjalanan Piala AFF dimana telah 11 kali diselenggarakan, Thailand merupakan negara tersukses dengan 5 kali juara, disusul Singapura 4 kali dan Vietnam dan Malaysia masing-masing 1 kali.
Generasi Yang Gagal
Seorang pemain bola mungkin tak lebih dari 15 tahun untuk berkarir dalam usia emas. Jika lebih dari 20 tahun Piala AFF diadakan, Timnas tak kunjung juga juara, artinya satu generasi pemain bola kita adalah generasi tanpa piala, jika tidak mau disebut generasi yang gagal. Siapa yang meragukan kemampuan Kurniawan DY, Bejo Sugiantoro, Firman Utina, Boaz Salossa, Bambang Pamungkas, Irfan Bachdim, Gonzales dan sederet nama-nama hebat lainnya. Tapi tetap saja di level Timnas, mereka semua tanpa piala.
Lalu salahnya dimana ? Salah siapa ? Tentu perlu analisa lebih dalam dan saya bukan orang yang kapabel untuk menganalisa.
Hanya secara kasat mata, tentu kita harus belajar kepada Thailand atau yang paling gress adalah Philipina.
Thailand begitu superior di Asia Tenggara baik itu di Piala AFF maupun Sea Games. Ya, Sea Games, sejak juara tahun 1987 dan 1991, Indonesia tak pernah lagi juara. Lebih ngeri lagi, pada 10 Sea Games terakhir, Thailand 8 kali juara dan Malaysia 2 kali juara. Lalu dimana sepakbola Indonesia ?
Kenapa saya sebut kita harus belajar dengan Philipina ? Perlu kita ketahui, saat ini peringkat FIFA Indonesia sudah dilewati oleh Philipina. Negara yang sebelum 2010 mungkin hanya menjadi pelengkap penderita dalam setiap ajang kejuaraan sepakbola level ASEAN. Pernah  kita gasak 13-1 pada Piala AFF 2002. Mungkin kala itu sepakbola di Philipina bukan apa-apa, bukan cabang olah raga yang menjadi prioritas. Tapi lihatlah sekarang, sejak 2010, mereka menunjukkan perkembangan yang sangat luar biasa. Pada 5 edisi Piala AFF terakhir, mereka berhasil 3 kali mencapai semifinal. Dan tentu kita ingat Timnas Indonesia harus bersusah payah mengalahkan mereka pada semi final Piala AFF 2010. Yang lebih mengejutkan adalah saat secara tragis Rizky Pora dkk dicukur 4-0 oleh Phil Younghusband cs pada Piala AFF 2014 di Hanoi.
Kini semua berubah. Peringkat FIFA per 25 Oktober 2018 Philipina 116 sedangkan Indonesia tercecer di peringkat 160. Mereka baru saja mengalahkan Singapura (1-0), menaklukkan Timor Leste (3-2) dan terakhir menahan imbang Thailand (1-1). Hasil imbang dengan Thailand itu pula lah yang mengubur peluang Timnas ke semifinal AFF tahun 2018 ini.