Kemarin, tanggal 6 Juli 2014, hari pertama masa tenang menjelang pemungutan suara, saya mengetahui sendiri ada seorang oknum Panitia pemungutan Suara (PPS) di kampung saya mempengaruhi dan mengarahkan para lansia agar memilih calon presiden tertentu. Usut punya usut, ternyata tindakan si oknum PPS itu sepertinya ada yang memerintahkan.
Di daerah saya, Bupatinya separtai dengan salah satu capres. Karena kesamaan identitas inilah terbersit kabar sebelumnya, bahwa sang bupati menggunakan birokrasi sebagai mesin politik untuk memenangkan capres kawan separtainya tersebut. Dan kabar ini seolah terkonfirmasi ketika saya ketahui bahwa si oknum PPS yang curang tadi, salah satu anggota keluarganya ada yang bekerja sebagai PNS Pemkab. Karena peristiwa inilah, maka saya berpikir bahwa dengan hanya berdiam diri saja ternyata justru kita menjadi sasaran untuk dipecundangi. Seseorang bisa saja menyatakan membenci kejahatan, membenci kecurangan, namun disaat yang sama ternyata kebencian yang dia suarakan hanya untuk membuat jera lawan sehingga dengan mudah bisa dipecundangi.Atas alasan ini, maka izinkan saya untuk ikut berbicara perihal pencapresan berdasar pertimbangan dan penilaian subyektif yang saya miliki.
Mari kita Mulai
Adalah harapan kita semua bila Presiden terpilih nanti dapat melakukan sejumlah perubahan di kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik. Presiden yang baik (orang yang tepat) sangat memungkinkan untuk mewujudkan perubahan yang kita harap harapkan itu.
Seperti yang kita tahu kondisi Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Terutama bagi rakyat kecil. Walaupun berulang kali kita dengar para ekonom menyatakan ekonomi Indonesia tumbuh sangat cemerlang, toh dalam kenyataannya rakyat kecil tetap kesusahan.Asongan, gelandangan, tukang becak, sopir, petani, kelompok buruh (dan banyak lagi tentunya) kehidupan kesehariannya masih dihimpit oleh kesusahan. Angka-angka matematis yang meyakinkan untuk membuktikan pertumbuhan ekonomi tentu tidak ada gunanya bagai rakyat kecil, jika dalam kenyataan keseharian untuk memenuhi kebutuhan dasar saja mengalami kesulitan.
Kehadiran Negara yang menyejahterakan rakyatnya sebagaimana amanah undang-undang dasar terlihat hanya slogan tanpa bukti, seolah hanya mitos belaka. Semakin hari NKRI menjadi negeri auto pilot. Peran dan tanggung jawab Negara dalam menyejahterakan rakyatnya nyaris habis tak tersisa. Negara seringkali absen untuk menyelesaikan kesulitan hidup yang membelit rakyatnya. Pengemissekedar diangkut dan di buang, gelandangan sakit dibiarkan kedinginan tidur dijalanan, rakyat kecil yang menuntut keadilan diabaikan. Mekanisme pasar, garong dan mafia seakan lebih dominan peranya dibandingkan peran negara. Tragis.
Di semua hal, sepertinya jauh panggang dari api. Antara yang diidealkan dengan kenyataan yang ada sangat jauh perbedaanya. Banyak sekali permasalahan yang terjadi hampir disemua lini kehidupan. Bidang pendidikkan bermasalah, layanan kesehatan bermasalah, penetapan upah buruh bermasalah, dan banyak lagi tentunya.
Sejumlah orang berkoar-koar tentang peningkatan anggaran pendidikkan. Kenyataanya? Anggaran pendidikkan ditingkatkan, namun siswa miskin tetap kesulitan mengakses kesempatan. Mental-mental kapitalis diinstitusi pendidikkan menemukan cara sedemikian rupa membungkus ketamakanya meraup pundi-pundi dengan membisniskan pendidikkan. Karena sekolah dan perguruan tinggi jadi ladang bisnis, maka golongan yang punya biaya lah yang memiliki kesempatan lebih. Yang miskin tidak. Negara yang katanya mencerdaskan kehidupan bangsa hanya omong kosong!
Di dunia kesehatan juga sama. Dari mulai jamkesmas, sampai kartu sehat yang katanya memfasilitasi orang miskin, toh kenyataannya pelayanan kesehatan bagi si miskin masih jauh dari kelayakan. Penolakan, pengabaian, sikap acuh petugas adalah makanan sehari-hari yang ditemui orang miskin ketika berobat dirumah sakit.
Upah buruh juga ditetapkan dengan semena-mena, sesuai kemauan pengusaha. Penghitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar penetapan upah minimum sampai detik ini masih menggunakan asumsi kebutuhan buruh lajang. Sangat tidak masuk akal.
Soko guru perekonomian kita adalah koperasi. Namun dalam prakteknya kita menemukan bentuk-bentuk perwujudan koperasi yang malah jadi tukang peras. Selain koperasi yang tukang peraskita bahkan juga punya Perbankan yang menjadikan masyarakat sebagai target bisnis semata bukan target untuk dibantu dan diberdayakan ekonominya.
Berkaca dari semua fakta diatas, maka membenahi Indonesia tidak bisa dilakukan dengan cara biasa. Sangat susah bila dilakukan oleh orang dengan kemampuan biasa.
Presiden Indonesia harus orang yang cerdas, berwawasan luas sehingga dia memiliki cukup pengetahuan untuk memulai langkah-langkah penyelesaian masalah yang di hadapi oleh Negara dan masyarakat. Presiden juga tentu harus orang baik. Karena tanpa kebaikan maka kecerdasan yang dimiliki tentu tidak akan diarahkan untuk kepentingan rakyat, melainkan digunakan untuk mengelabui rakyat. Selain karena kecerdasan dan integritasnya, seorang presiden Indonesia harus juga seorang PEMBERANI.
Mengurus Negara bukan perkara sepele. Tidak sembarang orang bisa begitu saja dapat diberi kesempatan untuk memimpin. Ada dinamika yang begitu kompleks yang terjadi dalam suatu Negara. Banyak kepentingan dan kekuatan-kekuatan jahat yang bermain di balik carut marutnya situasi Negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di balik pemerintah yang sah dipilih oleh rakyat, biasanya ada pemerintah bayangan dibelakangnya. Tidak lain dari mereka itu adalah para mafia, entah itu mafia local maupun mafia asing.
Demokrasi kita yang berbiaya tinggi memberi kesempatan kepada kelompok mafia bermodal untuk turut berperan serta dalam setiap proses politik yang ada. Karena mereka mafia, tentu tindakanya tidak didasari oleh motif social apalagi keagamaan. Satu alasan yang paling masuk akal bagi mereka untuk melibatkan diri dalam kegiatan politik adalah untuk menanamkan kekuasaan, agar selanjutnya akses untuk “mewirausahakan” uang Negara dapat dengan mudah bisa mereka lakukan. Melalui pemimpin politik yang berhasil karena dukunganya, para mafia dapat meraup sebanyak mungkin pundi-pundi kekayaan sesuai yang mereka targetkan.
Memberantas korupsi, menutup kebocoran anggaran, menyelamatkan potensi kerugian Negara, dan melawan para mafia hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang memiliki kekuatan dan keberanian.
Pemimpin pemberani lahir dari situasi diri yang bebas dari tekanan dan pengaruh orang lain. Pemberani selalu adalah tuan bagi dirinya sendiri. Dialah yang berkuasa karena dia yang punya kekuatannya. Sangat sulit bagi siapapun, apalagi bagi seorang pemimpin untuk tampil menjadi pemberani jika tanpa modal kekuatan sendiri. (tanpa kekuatan, apa yang akan diandalkan?)
Pilpres kali ini mungkin menyediakan bukan para putra terbaik bangsa. Dua-duanya memiliki banyak kekurangan. Tapi bukan berarti diantara keduanya tidak ada yang bisa dipilih. Di banding Jokowi, prabowo lebih mandiri dan berkuasa untuk mengambil keputusan. Prabowo tidak memiliki atasan seperti jokowi.
Berbeda dengan pasangan prabowo hatta yang memiliki modal politik sendiri, pasangan jokowi-JK modal politiknya pinjaman dari orang lain. Sehingga sangat mungkin disuatu saat si penyokong modal politik ini menegaskan bargaining positionya untuk tujuan mempengaruhi keputusan sang presiden.
Tanpa bermaksud mengecilkan jokowi, kita tentu tidak bisa menafikan fakta bahwa dibalik popularitasnya yang meroket, jokowi hanya tokoh local yang mengalami akselerasi sedemikian cepat. Namun karena saking cepatnya, jokowi tidak sempat membangun pondasi yang kokoh untuk membangun kerajaanya. Jabatan ketua DPP di PDIP pun tidak pernah disandang Jokowi. Sebagai (hanya) mantan tokoh local Jokowi tentu tidak memiliki jaringan atau basis dukungan politik yang memadai.
Kita semua tahu bahwa para tokoh politik kita yang terkemuka dan hadir di pentas nasional jarang yang datang tiba-tiba sedemikian cepat seperti jokowi. Akbar tanjung belajar dan membangun jaringan di HMI sejak masa kuliah, Sukarwo (gubernur jatim saja) belajar dan membangun jaringan di GMNI, Anas Urbaningrum mengikuti jejak Akbar tanjung, Gusdur dengan NU nya, Megawati dengan basis dukungan dari (Eks) PNI dan marhaen (dan tentu saja PDIP), Hatta dengan Muhamadiahnya, dan presiden dari militer tentu saja belajar dan memiliki jaringan di institusi militer(institusi yang memiliki senjata, yang sebenarnya dapat dengan mudahmengkudeta pemerintahan sipil yang sah. Bila mau). Bahkan seorang Fahri Hamzah pun mempersiapkan diri dan membangun jaringanya jauh-jauh hari sebelumnya lewat KAMMI. Nah, kalau Jokowi? Jika di PDIP saja posisinya begitu lemah, lantas dalam konteks NKRI bagaimana?
Memilih Presiden tentu tidak boleh main-main. Kita tentu mengharapkan agar setiap presiden yang terpilih dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik sampai selesai masa jabatanya. Untuk keperluan ini presiden terpilih tentu memerlukan kekuatan dan kemampuan orisinil dalam rangka mempertahankan diri dari kemungkinan adanya rong-rongan. Pengalaman memimpin kotamadya dengan lima kecamatan, style merakyat, hobi blusukan tidak akan gunanya jika modal politik sebagai prasyarat dasar tidak dimiliki oleh seorang presiden.
Presiden adalah jabatan politis, yang tentu saja lahir dari proses politik. Logika politik berjalan mirip dengan hukum rimba. Kalah menang dalam rimba politik ditentukan juga oleh seberapa kuat modal politik yang dimiliki oleh para aktornya. Ini keniscayaanya. Dengan alas an inilah maka saya berharap untuk merenungkan ulang keputusan anda yang akan memilih jokowi. Tolong Jangan Naif dengan berpikir bahwa petugas partai akan baik-baik saja ketika didapuk untuk memimpin Negara.
Rakyat Indonesia Sadarlah. Kalau kita memilih lurah, mungkin kita bisa menetapkan criteria sifat personal seperti merakyat dan suka blusukan untuk dasar kita memilih. Namun ketika memilih presiden, maka hal-hal remeh temeh tadi tentu bukan kompetensi substansial yang harus dimiliki oleh capres.Bukan begitu to?...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H