Mohon tunggu...
Ahmad Jazuli Harwono
Ahmad Jazuli Harwono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis untuk melupakan masalah, dan satu-satunya cara yang paling memungkinkan(saat ini) untuk beraktualisasi. Penulis dapat di hubungi melaui email:paklik_jul@yahoo.co.uk dan hp:081 386 25 6949

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Asongan, dan Kelompok yang Tak Berpengharapan

19 Mei 2014   04:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14004226751774414814

Selesai sudah karir pedagang asongan di Kereta Api. Tahun ini adalah tahun keberhasilan manajemen PT KAI mem-PHK ribuan asongan di seluruh Indonesia. PT KAI mengharuskan kereta Api, bahkan stasiun, steril dari orang yang tidak berkepentingan. Steril dari asongan.

Asongan adalah contoh kelompok yang termarginalkan. Tentu bukan hanya asongan golongan termarginalkan, masihada gelandangan, pemulung, pengamen, pengemis dan banyak lagi yang lain. Sebagai golongan yang di lupakan, kelompok kelompok marginal tersebut tak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk memenangkan aspirasinya.

Ratusan bahkan ribuan kali barang kali pemerintah mengklaim tentang pertumbuhan ekonomi. Para pakar ekonomi begitu ahli meyakin-yakinkan masyarakat, bahwa ekonomi Indonesia membaik, kemiskinan berkurang, dan lain sebagainya yang indah indah. Seolah segala kenyataan hidup yang pahit, yang dirasakan masyarakat adalah tidak nyata. Informasi tentang pertumbuhan ekonomi seakan di buat untuk memanipulasi kenyataan yang sesungguhnya. Memanipulasi kenyataan bahwa diantara klaim membaiknya ekonomi itu, sesungguhnya menyisakan begitu banyak ketidak adilan.

Bila di katakan Ekonomi Indonesia membaik, lalu siapa yang menikmati? Jawab : Tentu para konglomerat, kelompok masyarakat kelas atas, dan kelas menengah Indonesia. Rakyat bawah, hanya kebagian janji-janji politik . Yang mereka dapat kan dalam keseharian adalah: Berjuang mati matian menghidupi diri dan keluarganya di tengah gempuran melambungnya harga, dengan pendapatan mereka yang pas-pasan. Ironisnya sesekali bahkan mereka harus menghadapi kekejaman Negara atas nama ketertiban dan kebersihan.

Pengasong kereta api adalah contoh yang paling sial. Mereka diusir begitu saja dari tempat mereka menggantungkan nafkah, tanpa solusi. Masing-masing pihak yang harusnya bertanggung jawab justru saling lempar. Merasa mengurus asongan bukan bagian tugasnya. Sekali lagi terbukti, Negara telah mengabaikan begitu saja nasib rakyat bawah.

Asongan adalah bukti, bahwa ekonomi Indonesia tidak sebagus yang selama ini di bicarakan. Bagi orang kecil seperti asongan, ekonomi Indonesia yang membaik itu tidak ada. Yang nyata adalah kesusahan yang mereka alami sehari hari.

Lantas, sampai kapan nasib mereka akan seperti itu?. Apakah pemerintah yang baru akan membawa perubahan yang nyata, atau tak ada bedanya dengan yang sebelumnya?. Saya duga tidak akan ada perubahan. Sangat beralasan untuk pesimis.

Negara ini di drive dengan pertimbangan-pertimbangan politis semata. Di dominasi kelompok-kelompok politik yang berorientasi kekuasaan. Partai politik kita berorientasi menguasai. Kepentingan mendapatkan dan mengamankan kekuasaan, jauh lebih penting dari sekedar memihak rakyat kecil yang termarginal. Toh, masih banyak hal yang bisa dikemas untuk mendongkrak citra partai tanpa harus bersusah payah mengentas nasib kelompok-kelompok kecil seperti asongan. Toh jumlah kelompok marginal seperti asongan, tidak berpengaruh signifikan pada perolehan suara partai politik di setiap pemilu.

Gembar-gembor merakyat patut dicurigai keasliannya jika itu disematkan pada politikus yang notabene produk partai politik. Jangan-jangan itu hanya kemasan. Jangan-jangan itu hanya jualan, bukan sesungguhya. Mengapa? Karena di dalam situasi politik transaksional seperti Indonesia ini, tiada tempat bagi yang benar-benar baik, jujur, tulus, dan kompeten. Yang ada hanya hasil kemasan sedemikian rupa sehingga tercitra baik dan laku di jual!

AKAR MASALAH

Demokrasi kita berbiaya tinggi itu fakta. Keikutsertaan dalam kontestasi politik kita sebanding lurus dengan seberapa besar kemampuan financial yang dapat dikeluarkan. Pemilihan langsung jelas membutuhkan biaya yang besar. Pertanyaanya kemudian; Darimana sumber daya financial itu di dapat? Siapa yang menopang? Lantas apa konsekuensinya?.

Tentu kita dapat menyusun dan merumuskan pertanyaan yang lebih kritis mengenai itu semua. Namun yang sering terjadi, kita tidak pernah ambil pusing, dan cukup puas mengkonsumsi pencitraan. Menerima begitu saja kesan-kesan baik hasil dari pengemasan yang sistematis.

Sampai pada akhirnya nanti, ketika semuanya sudah terjadi barulah kita menyadari bahwa ada hasil yang tidak baik akibat keputusan kita itu. Ada yang tidak semestinya di lakukan oleh pemimpin yang kita pilih.

Jika dalam masa kampanye partai partai politik berlomba-lomba berjanji memihak rakyat, menyejahterakan semuanya, namun ketika kekuasaan sudah ada di tangan, mereka memberikan yang lain yang berkebalikan. Bukan bagaimana mengupayakan secara sistematis keberpihakan pada rakyat melalui serangkaian program dan kebijakan, namun yang banyak diproduksi tetap proyek-proyek fisik yang megah, mewah, bahkan tidak perlu, namun berpotensi menguntungkan untuk pribadi dan kelompok. Banyak proyek-proyek fisik yang di bangun dengan biaya tinggi, bahkan sulit di telusuri tujuannya, selain sekedar sebagai alat megumpulkan pundi-pundi kekayaan mereka.

Akhirnya, pengasong kembali gigit jari menerima kenyataan pahit yang tak kunjung berhenti. Sebagai bagian dari NKRI mereka tidak mendapat pengakuan. Demi terlihat tertib dan nyaman, mereka harus disembunyikan, disingkirkan. Tragisnya, yang tidak mau berbagi tempat dengan mereka itu ternyata bukan hanya Representasi Negara. Tetapi termasuk kita juga, masyarakat sendiri.

Demi alas an kenyamanan kita buang jauh empati dan kepedulian. Tanpa perasaan kita tukar semua empati itu dengan kebencian, bahwa mereka itu pengganggu. Seakan, duduk nyaman tanpa gangguan dalam perjalanan itu jauh lebih penting, daripada memberi kesempatan bagi saudara kita (sebangsa senegara )mencari nafkah bagi keluarganya. Kejam juga ya kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun