"Dengan menyebut nama Allah"~
Sebenarnya saya tidak ingin jadi orang yang latah, setiap ada persoalan ikut-ikutan menanggapi seperti masalah pendidikan yang carut-marut sekarang ini. Ya, saya katakan demikian karena mulai dari kurikulum dan sekarang UN yang selalu bikin masalah. Pemberitaan yang baru-baru ini, banyak yang menyoroti tentang kecurangan siswa selama mengikuti ujian.
Disini saya katakan diadakannya UN saja sudah bermasalah mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Kalau tidak mau anak-anak berbuat curang ya jangan bikin kegiatan atau aturan yang membuat anak-anak berpikir untuk curang atau kaji ulang tujuan awal diadakannya UN. Dan selama orientasi UN hanya nilai tinggi jangan harap siswanya tidak berbuat curang. Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut saya. Dari awal diadakannya, UN tidak pernah ada bagus-bagusnya alias cacat. Kalaupun ada, juga dampak buruknya bikin guru, siswa dan orang tua stress.
Dalam persiapannya saja pasti ditemui masalah seperti dalam tender percetakan soal, pendistribusian soal yang kacau dan yang jadi korban psikologis anak. Dipelaksanaan UN juga pasti ditemui permasalahan, tentang kekurangan atau kelebihan soal, lembar soal yg tertukar, molor sewaktu ujian, dan lucunya pakai dijaga polisi. Belum ujian saja sudah dibuat ribet dan stress.
Masalah yang lebih besar yaitu pendoktrinan mindset awal siswa belajar untuk dapat nilai tinggi sejak proses awal pembelajaran dan itu diamini dengan adanya UN ini ditahap akhir, apa bedanya dengan robot. Harusnya siswa dididik untuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif. Dan disini logika mendikbud yang keliru, tugasnya yang harusnya cuma memfasilitasi proses pembelajaran, bukan ikut menentukan kelulusan melenceng dari tujuan “Pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Analoginya siapa yang mengajar siapa yang menentukan, GILA. kalo gini kasian guru terlebih siswa mending bubarin aja sekolahnya. “Alhasil standardisasi ala pabrik via UN dan sistem seperti sekarang, kita dapat membaca apa tujuan pendidikan sekarang yaitu industri. Tujuan SDM yg terstandarisasi ini sama dengan Politik Etis Belanda dulu: untuk kebutuhan tenaga kerja untuk kepentingan Belanda, sama juga pendidikan kita masih terjajah (tapi oleh orang sendiri). Padahal tujuan pendidikan yg sebenarnya itu adalah memanusiakan manusia. Harusnya sekarang namanya diganti bukan PENDIDIKAN tapi PELATIHAN” kata Mbak Ratna Noviasari.
Coba deh di sekolah sekarang mindset belajarnya gimana dapat ilmu yg benar tanpa khawatir nilai jelek, harapannya siswa jadi senang menuntut ilmu. Belajar itu harusnya mengasyikkan bukan kayak sekarang terbebani. Dalam proses belajar siswa itu dari awal tidak berhak untuk dinilai pakai angka-angka karena penilaian dengan angka ini cakupannya masih sempit dan “nilai ujian sekarang sudah bergeser dari parameter evaluasi penguasaan bahan pelajaran ke tingkat kecerdasan di antara murid-murid.” Setiap anak itu unik, itu yang selalu saya ingat. Siswa gak cukup diukur dari penilaian kognitif saja. Coba kalo yang dikejar ilmu apa yang bisa dicurangi. Dibikinnya adanya UN dari awal cuma melihat siswa lulus atau tidak lewat nilai, dengan kata lain mengesampingkan proses tapi mengutamakan hasil saja dan pendapat saya cuma 1 hapus sajalah.
Masih saya simpan betul tulisan Bunda Aridha Prasetya Berjudul "Aku Jatuh Cinta pada Mahasiswaku", disitu dituliskan "menemukan keterkaitan antara JUDUL keilmuan (Mata Kuliah) yang harus aku transfer, dengan kehidupan yang sesungguhnya dijalani/dihadapi mereka(para pelajar). Agar ilmu itu menjadi berguna bagi persoalan dan kehidupan (pekerjaan) mereka." Dan dari pernyataan itu, menurut saya dari awal siswa udah lulus tanpa adanya UN karena siswa udah punya kemauan belajar (tahap sekolah). Kalau dipaksa mau menilai kelulusan, anak itu dapat dikatakan lulus kalau sudah bisa "bekerja", bisa "bermanfaat" bagi orang lain bagi kehidupan seperti kutipan pernyataan tersebut. Intinya Sudah sepatutnya pendidikan ini kembali ke fitrah tujuan pendidikan awal.
Salam :)
Baca juga tulisan: SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL ~> http://novi-ratnanoviasari.blogspot.com/2012/05/sebuah-pabrik-bernama-ujian-nasional.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H