Mohon tunggu...
Matahari Pagi
Matahari Pagi Mohon Tunggu... Administrasi - Rakyat Indonesia

Bloger tanggung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bernalar Itu (Ternyata) Sulit

9 Maret 2014   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seminggu terakhir ini terasa begitu melelahkan, berjumpa dengan mereka yang merasa begitu soleh, begitu dalam ilmunya tentang perintah Tuhan, yang sangat ringan untuk mengeluarkan kata sesat serta bernasihat kepada orang lain atas nama kemaslahatan umat. Meskipun demikian, mereka ini cepat marah bin naik pitam jika kita sanggah pendapatnya, kalau perlu dengan bibir yang cemberut, suara yang bergetar ngotot, mata memerah dan urat-urat leher yang menonjol keras bak akar pohon-pohon tua. Mungkin saja mereka sudah merasa pasti akan masuk surga, sementara yang lain akan pergi ke neraka. Setelah begitu lama mencoba selalu menghindar, minggu ini entah bagaimana ceritanya aku tidak hanya sekedar berjumpa, tapi terpaksa berdiskusi.

Teringat lagi masa-masa doktrinasi, diskusi hingga bermanuver ala politisi kelas kambing semasa di kampus dulu. Kurun waktu yang begitu memanjakan pencarian intelektualitas serta spiritualitas tanpa terbebani oleh kegundahan hati dalam pemenuhan syahwat hidup. Beberapa peristiwa pada masa itu membuatku berkesimpulan bahwa golongan mereka yang merasa diri sudah menemukan kebenaran dan merasa paling benar, memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk berperilaku seperti mereka yang tidak berilmu atau tidak terdidik dengan ciri-ciri utama: Bersemangat menasehati, tapi tidak mau mendengarkan, cepat naik darah dan tidak segan berkata kasar bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan meski dalam kesehariannya berlaku santun, sabar dan rendah hati. Pada akhirnya aku mencoba menghibur diri dengan mencoba optimis bahwa ini adalah masa pencarian identitas diri di mana para pelaku masih memiliki masalah dengan stabilitas emosi. Aku putuskan untuk berhenti berinteraksi secara intelektual dengan golongan ini, di luar urusan sosial dan kemanusian aku memilih menghindar.


Sungguh sulit untuk memahami bahwa mereka yang seharusnya tergolong sudah memasuki masa emosi yang stabil, kenyang pengalaman hidup dan berpendidikan tinggi namun tetap memiliki kecenderungan sangat kuat bersikap seperti yang digambarkan sebelumnya. Kematian nalar hanya mungkin jika kita sudah terbelenggu sedemikan hebat oleh logika yang bersendikan menang-kalah dan benar-salah, hal yang sangat khas dari materialisme. Materialisme ternyata sudah sedemikian mencengkeram kehidupan kita, sedemikian sulitnya menemukan ruang kebijaksanaan dalam nurani kita di luar logika benar-salah dan menang-kalah. Nalar yang mati ternyata bukan hanya masalah waktu dan proses, lebih dari itu, dia adalah masalah pada sistem yang menjiwai kehidupan kita. Jadi jangan heran jika mereka yang sudah melalui pendidikan tinggi bahkan dari pendidikan barat yang paling liberal sekalipun tiba-tiba bersikap seperti preman pasar yang dungu dan bebal, yang ringan tangan menganiaya orang hanya karena orang tersebut memberi tahu bahwa dia dilarang kencing di area parkiran sesuai dengan tanda peringatan dari Pemda, sehabis mukulin dia berkata: “Gubernur aja gak marahin gue, lah elu emang siapa…?! De javu. (Hidden Valley, 9 Maret 2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun