Mohon tunggu...
Baharudin Udi
Baharudin Udi Mohon Tunggu... -

Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan segala penyesalan, tetap setia pada proses dan fokus dengan impian, never give up

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pencopetan ala Negeri Fir'aun

17 Januari 2012   06:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13267800141235506189

Zaman yang canggih menuntut semua kalangan dan golongan untuk berusaha mengikuti kecanggihan dari zaman tersebut. Menuntut ilmu di Negara orang memang memiliki cerita tentunya sangat berbeda dengan para penuntut ilmu di Negara sendiri, pebedaan yang dimiliki mereka adalah  cerita atau pengalaman bukan kualitas ilmu pengetahuannya, dan hal ini masih diperdebatkan karena ada yang menyatakan jika menunut ilmu bisa di mana saja tergantu dari pribadi masing-masing sang penuntut ilmu tersebut. Dan ada juga yang menyatakan bahwa tempat  atau lingkungan memengaruhi pribadi sang penuntut ilmu, ala kulli haal, tetap menjadi penuntut ilmu kapan saja dan dimana saja,  “Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga ke liang lahad”, begitulah salah satu Mahfudzot yang kupelajari semasa di Pesantren dulu. Hmm, sepertinya terlalu panjang muqoddimah untuk sebuah cerita sangat indah hari ini, baiklah akan ku mulai cerita ini dengan bacaan Basmalah, Bismillahirrahmanirrahiim, jadi ingat sebuah lagu,”ku mulai dengan Bismillah ku akhiri dengan Alhamdulilllah”. Entah kenapa hari ini hatiku tergerak untuk belajar di Mesjid Al-azhar yang kebenaran sangat jauh dari tempat tinggalku bilangan delapan, karena tidak pernah menghitung jarak yang ditempuh aku hanya mengingat berapa lama waktu yang di habiskan dari rumah ke Mesjid tersebut, sekitar 45 menit hingga satu jam-an, sudah dengan plus-plus lainnya, plus nunggu bus, plus berjalan dari rumah ke jalan besar, dan plus lainnya. Setelah Shalat Ashar, ambil panci, tampung air tidak secukupnya, nyalakan kompor, lalu letakkan panci di atas kompor tersebut, dan tunggu hingga mendidih. Begitulah langkah-langkah yang harus dilakukan saat musim dingin jika tidak memiliki pemanas air atau punya pemanas air tapi masih dalam keadaan rusak faktor kedualah yang menyebabkanku untuk melakukan langkah-langkah di atas, forget it. “Alhamdulillaah, allaahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqi”, setelah bercermin ria di depan cermin, “Udah, udah ganteng tu!” celetuk seniorku, “Allahumma laa tuaakhidzni bimaa yaquuluun, waghfirli maa laa ya’lamuun waj’alni khoiron mimmaa yadhunnuun”, jawabku dalam hati. Sarung tangan, dompet dengan berisi uang, kartu tanda mahasiwa, mushaf, jausyan, dan yang paling terpenting adalah paspor, oke semua sudah siap, “are you ready? Go go go!”. Dengan sepatu pantofel hitam ku langkahkan kaki kanan “Bismillah tawakkaltu ‘alallah”, berjalan dari rumah menuju halte memakan sekitar sepuluh menit-an, sampai di halte yang tampak tidak begitu ramai karena matahari mulai bermain petak umpet di balik gedung-gedung yang tidak begitu tinggi, sedikit terlihat cahaya mentari petang yang berwarna kuning kemerah-merahan menandakan waktu maghrib  sebentar lagi, dan tandanya siang akan berganti malam, dan lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Menurut info dari seniorku, hari ini jalan menuju Kampus Al-azhar macet total disebabkan para demonstran yang menutup jalan dengan truk-truk, dimaklumi saja karena Negara Fir’aun ini baru saja merasakan demokrasi, ’dulu jangankan demo, ngomong politik aja langsung ditangkap’ (curhat seniorku yang pernah berpengalaman di sel mesir). Akhirnya aku putuskan untuk tidak menunggu bus langganan yang sering ditumpangi para mahasiswa (80 coret), keputusanku jatuh untuk menggunakan jasa bus lain yang satu arah jalan tapi tidak sampai ke tujuanku tadi, dan sesampai di setengah jalan akan disambung dengan angkutan umum lainnya, begitu pikir bijakku. Talk less do more, langsung saja aku naik bus yang aku maksud, sepi penumpang, setelah membayar tadzkarah atau karcis, aku duduk yang kebetulan tersisa satu bangku lagi untukku , dan tepat disampingku  seorang bapak yang sepertinya kelelahan dan tertidur pulas sambil bersandar di jendela, sudah lima menit berada di bus, dan sudah tampak sesak dengan penumpang yang naik dari setiap halte yang dilewati bus itu. Dari belakang ada seorang perempuan paruh baya dengan bobot yang membuat jalannya serasa begitu berat. “Tafadholy ya mama” ku persilahkan perempuan tersebut untuk duduk di tempat aku duduk, “laa kholli yabni” gaya orang mesir yang sok nolak tapi akhirnya duduk juga, huft ABCD (Aduh Boo Cape Deh). Sudah setengah jalan, dan aku berhenti di halte atau lebih dikenal dengan nadi sikkah, kalau dibilang halte juga tidak, sebab ini halte bayangan di perempatan jalan. Itulah mesir dengan sejuta pesona namun dengan bermilyar pe-rana, nah di sinilah awal kisah pencopetan tersebut, sebenarnya cara mereka ini sudah pernah aku dengar dari beberapa mahasiswa yang mendapatkan kronologi pencopetan langsung dari korban pencopetan. Dari nadi sikkah tadi, aku menumpang bus empat jim tujuan Kampus Al-azhar, aku naik dari pintu belakang, bus terlihat sepi penumpang , mungkin tujuh orang mesir dan hanya aku orang asing, aku memilih untuk duduk di bangku kedua sebelah kanan dari depan, dan sang kumsyari atau kernet menjalakan tugas, ku ambil satu pound yang telah ku sediakan sejak tadi dari saku jaket tebal dan membayar ongkos bus tersebut, dan ongkos bus tersebut setengah pound, anehnya saat aku meminta kembalian, ia bilang tidak ada, dan kejadian yang sama menimpa penumpang mesir lainnya, ya sudahlah aku bilang Hadiir hadiir”, tanda akan menunggu kapan ia akan kembalikan, hasilnya nihil. Ku korek-korek kantongku , ternyata ada setengah pound di kantongku, berinisiatif untuk menukarkan satu pound tadi dengan setengah pound yang sudah diantara jari ibu dan telunjukku, tapi hatiku berkata “ikhlaskan sajalah”, ku turut perintah lubuk hati. Melihat landskap senja Kairo membuat aku sedikit berkontemplasi. Kairo kota tua yang menyihir seluruh pemuda dunia berbondong-bondong  datang untuk menuntut ilmu di salah satu Universitas tertua di dunia, Al-azhar, ya nama itulah yang membuat ibuku tidak percaya sehingga terlontar kata Beraghan (berangan)”, dengan logat melayunya yang begitu kental saat kelas dua Tsanwiyah aku memberitahukan ingin melanjutkan studi ke sana. Kontemplasi selesai. Mahattoh Akhiir, dihalte terakhir inilah saatnya pencopet beraksi, kalau boleh kata beraksi diganti dengan ber-atraksi, lanjut cerita , aku berdiri dan keluar dari tempat duduk, aku menunggu giliran untuk turun, satu dua penumpang mesir sudah turun tinggal giliran orang yang tepat berada di depanku, aku maju satu langkah akan tetapi serasa ditahan oleh penumpang mesir di depanku. Tiba-tiba, orang didepanku berbalik badan sambil menendang-nendang pelan  ke tulang kaki kering kiriku dengan kaki kanannya, seolah-olah kakinya kesemutan atau seperti tertembak polisi, menggelepar seperti ikan naik ke daratan, “leih inta ya ‘amm?”,’kenapa mas? ujarku berulang kali, ketika peristiwa itu aku merasakan ada sentuhan di saku belakang dan kebetulan saat itu aku meletakkan dompet di saku belakang, langsung saja otakku mengalir deras entah berapa giga kecepatannya untuk mengingat trik pencopet berkelompok yang pernah aku dengarkan beberapa bulan yang lalu kisahnya, tanpa pikir panjang aku langsung duduk di bangku depan untuk menghindar tangan bapak tua berkacamata lensa dan langsung ku taksir umurnya  empat puluh lima-an dan orang yang kesemutan tadi masih menjalankan perannya dengan sempurna, sontak saja aku teriak “intu leih keda?, sollu ala nabi!”, ‘kalian kok begini, bersalawatlah atas nabi’, tidak ada reaksi dari mereka, hanya diam di tempat. Dengan kekecawaan plus kemarahan yang sangat aku turun melewati mereka, kecewa karena kenapa aku yang menjadi korban dan marah kenapa harus aku yang menjadi incaran. Jadi ingat kata-kata bang napi “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi kejahatan bisa terjadi karna ada kesempatan, waspadalah!” Beberapa meter dari bus yang aku tumpangi tadi, ku toleh ke belakang sambil memeriksa tas yang sejak tadi aku sandang beserta dompet yang menjadi mission target mereka. Di tengah jalan aku menelpon salah satu teman yang tinggal dekat dengan mesjid Al-azhar untuk berbagi pengalaman. Dalam hatiku saat itu penuh dengan rasa syukur, karena dompetku saat itu penuh dengan uang ratusan pound, rapalan dzikir senantiasa aku ucapkan. (saat diuji aje loe ingat gue, huft). Benar saja setelah shalat maghrib sendiri di mesjid Al-azhar karena tidak ada jama’ah lagi yang ingin shalat isya, dan sebentar lagi adzan isya, aku beranjak ke rumah temanku tadi, langsung ku ceritakan pengalamanku beberapa menit yang lalu, dan ia juga menceritakan dengan tema yang sama dengan trik yang berbeda. Allahu Akbar, Allahu Akbar”, adzan isya yang saling sambut-menyambut mendiamkan kami dan mengheningkan saentro kota Kairo. Setelah wudhu aku pamit pulang dengan temanku tadi, tapi dia mencoba menahanku untuk menginap di rumahnya, karena pengalaman yang aku ceritakan tadi, “Allahu ma’anaa” , Allah bersama kita. “Ohya uangnya letak di kaos kaki saja!” sarannya, ku turut dengan sarannya, ku letakkan uang ratusan pound itu di kaos kaki, “Assalamualaikum”. Seperjalanan pulang dalam otakku hanya ada kekhawatiran, kecemasan, pokoknya menyeramkan. Namun semua itu musnah dengan asma-asma Allah, tidak musnah semua sih, masih ada 0,99 % bakteri-bakteri setan  via kecemasan yang menempel di hatiku, separoh jalan aku melihat bus empat jim, aku tumpangi dengan rasa yang sangat was-was, sejenak otakku mengingat wajah yang satu ini langsung saja aku bilang “inta tudzakkirni!, Nus geneh Kaman soh?”, ingat saya kan pak!, yang setengah pound lagi? Begitulah terjemahan leterleknya, alhmdulillah sang kernet bus yang aku tumpangi tadi ingat dengan wajah yang biasa-biasa aja ini. so saat pulang aku tidak membayar karena sisa setengah pound yang masih dikenang oleh kernet. Begitulah aksi pencopet di Negri Fir’aun, yang tidak melukai korban tapi mengelabui korban, berkelompok dengan strategi yang sudah direncanakan oleh mereka, sudah banyak memakan korban dengan pelaku yang sama, entah mereka adalah jaringan mafia kota Kairo atau kelompok pembela rakyat kecil, Robin Hood versi Mesir yang memberikan seluruh hasil curian untuk rakyat kecil, tapi masih adakah orang seperti itu kalau benar mereka, haduh wallahu a’lam deh, sudah nggak focusnih, kalau gitu kita tutup cerita hari ini dengan Hamdalah, Alhamdulillahirobbil’alamiin. Niat ingin belajar di mesjid Al-azhar aku urungkan, tapi jelas hari ini aku dapat pelajaran yang begitu berharga dari kehidupan ini. All izz well

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun