Multi-agent merupakan sebuah pendekatan yang dapat memotivasi wajib pajak untuk patuh terhadap pajak. Karena didalam aspek perpajakan bukan hanya disokong oleh kepentingan individual melainkan kepentingan nasional dengan cara menanamkan kepatuhan wajib pajak dengan rasa bersalah, malu, moralitas dan altruisme. Pemikiran kelompok turut dalam mempengaruhi kepatuhan pajak karena adanya kepercayaan, tax morale, patriotisme, adat kebiasaan, keadilan dan norma sosial yang sudah dipelihara dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, pajak tidak berada dalam ruang hampa. Pajak membutuhkan kerja sama banyak pihak yang bersifat multiple entity dengan mengakomodasikan peran dan interaksi para pihak.
Sisi Gelap Produk Hukum Patuh Pajak Dekonstruksi Derrida
Secara harfiah Dekontruksi Derrida mengacu pada aspek penanda yang diartikan sebagai teks dan petanda yang diartikan sebagai makna. Teks dalam hal ini adalah produk hukum kepatuhan pajak yang sudah bertransformasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut menyebabkan perbedaan atau difference dalam bentuk jurang pemisah antara aturan dan interprestasi makna yang ditimbulkan. Perbedaan dalam tata bahasa perpajakan dimaknai sebagai tumpang tindihnya aturan pajak sebagai produk hukum dari kepatuhan pajak.
Pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang masih sangat banyak untuk membuktikan bahwa pemaknaan setiap pasal yang terus bertransformasi tidak rancu, ambigu dan multitafsir. Dengan demikian, kredibilitas dalam fase pembalikan hirarki logika Derrida pada kesadaran wajib pajak dapat terbentuk dengan baik karena pemerintah berhasil membuktikan distribusi pajak bersifat transparan, akuntabel dan tepat sasaran.
Kakanwil Dirjen Pajak Selatan II Edi Slamet dalam Media Indonesia edisi 13 Juli 2020 mengungkapkan bahwa
"Harus diakui regulasi negara dalam bidang perpajakan yang berlaku saat ini masih harus disempurnakan agar tercipta peraturan perpajakan yang integratif dan tidak rancu. Harus diakui masih terjadi tumpang tindih peraturan perpajakan,"
Teks yang berisi tentang insentif pajak berupa potongan pajak 6% saat COVID-19 dalam UU No. 2 Tahun 2020 diberlakukan bersamaan dengan UU lain yang mengatur tentang hal yang sama. UU tentang insentif yang diberikan untuk kepabeanan dan PPN, justru memunculkan pemaknaan untuk mengeruk keuntungan dengan harga jual alat kesehatan yang masih mahal, padahal pemerintah telah memberikan insentif. Perspektif Derrida menunjukkan bahwa oposisi binner akibat perbedaan dan penundaan ini justru memunculkan penghancuran berupa kemunculan oknum tidak bertanggung jawab sehingga diperlukan penyempurnaan UU.
Contoh lainnya adalah pengisian SPT yang tercantum dalam pasal 8 ayat 4 UU No. 16 tahun 2009 atau UU KUP yang memiliki oposisi binner dengan UU Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.74/2011. Dalam KUP, dalam pengungkapan ketidakbenaran dalam pengisian SPT dapat dilakukan meskipun otoritas pajak telah memeriksa dan syarat Surat Ketetapan Pajak (SKP) belum terbit. Tetapi pada PP 74/2011 menyebutkan bahwa ketidakbenaran dalam pengisian SPT masih dapat dilakukan sepanjang pemeriksaan pajak belum melaporkan SPHP. Dapat dikatakan bahwa kedua UU tersebut memiliki aspek waktu yang berbeda dimana rentang waktu PP 74/2011 jauh lebih pendek dibandingkan dengan UU KUP. Â Dalam perspektif Dekonstruksi Derrida, kedua UU tersebut menimbulkan pertentangan atau oposisi binner yang menyebabkan adanya jurang pemisah dan perbedaan.
Skema teoritik Derrida menunjukkan tiga langkah diantaranya adalah identifikasi hirarki oposisi dalam teks yang dianggap istimewa dan sistematik. Kedua, oposisi saling ketergantungan dan saling berlawanan. Ketiga adalah gagasan yang masih bersifat baru tidak dapat dimasukkan dalam gagasan lama.
Dari sini Derrida nampaknya terus melakukan pengkajian filsafat dengan aspek sistem metafor. Pemikiran Richard Rorty bahwa perspektif Derrida membahas pemilahan yang mirip dengan pemilahan hubungan inferensial antar kalimat di satu pihak dan bersifat asosiatif. Langkah yang dilakukan dengan peletakan makna kunci dalam sebuah kalimat, kemudian peletakan pada satuan kata. Problematika filsafat kontemporer berusaha untuk mendapatkan argumentasi yang dapat memenuhi syarat dasar pemikiran yang bertumpu pada paradoksal dan tantangan dalam filsafat itu sendiri. Kajian filsafat Derrida berupaya untuk menjelaskan rasionalitas dan pluralisme atas konsep kekinian yang berhubungan dengan aspek penggunaan bahasa. Rasionalitas yang berkembang saat ini cenderung bersifat sementara dan konvensional bukan lagi mutlak dan universal. Sama halnya dengan regulasi perpajakan baru dan lama yang saling tumpang tindih dan berlawanan yang memunculkan metafor dalam bentuk sengketa pajak, penggelapan pajak, penghindaran pajak dan upaya mencari keuntungan dari lubang besar yang menganga dari celah kekopongan regulasi perpajakan yang saling bertentangan. Tendensi yang muncul berupa pembayaran pajak dengan dua opsi seperti membayar pajak dengan jujur atau membayar pajak dengan opportunis.
Mengatasi Sisi Gelap Produk Kepatuhan Pajak
Antitesis terhadap zona abu-abu atau jurang pemisah antara penanda dan petanda tersebut dalam hal berhubungan dengan regulasi perpajakan adalah sebagai berikut:
- Membuat perundang-undangan yang mempertimbangkan pada komponen filosofis, sosioologgis dan yuridis dengan berpedoman pada UU No.12 tahun 2011 yang membahas tentang proses pembentukan UU. Apabila berbicara unsur yuridis, perundangan harus memiliki kedudukan yang tidak menimbulkan pertentangan dengan UU sebelumnya. Tentu hal ini berlandaskan pada asas lex superiori derogate legi inferior. Yuridis mengisi celah kekosongan legitimasi hukum dengan memperhatikan berbagai perundangan yang telah ada tanpa melampaui kapasitas kewenangan yang berlu. Komponen filosofis sangat pentinf untuuk menentukan pandangan hidup dan ideologi perpajakan yang ideal. Komponen sosiologis dengan mempertimbangkan kepentingan publik dalam penyusunan aturan UU.
- Sistem perpajakan dengan mempertimbangkan tiga prinsip yaitu pengelolaan kebijakan dalam bentuk hukum perpajakan, implikasi jangka panjang dan pendek, memberikan hak perlindungan pada wajib pajak. Prinsip ini dapat memberikan kepastian hukum dan mengurangi benturan peraturan, tumpang tindihnya regulasi perpajakan, ambiguitas, multitafsir regulasi perpajakan.
- Merumuskan kebijakan secara partisipatif agar mengetahui tingkat kebutuhan dan kesesuaian aturan (antara teks dan makna) dengan menghimpun berbagai aspirasi untuk langkah solutif.
- Merancang produk hukum kepatuhan pajak dengan memperhatikan aspek ekonomi dan pajak yang berlandaskan pada yuridiksi. Aspek kelembagaan dalam perpajakan harus disusun dengan koordinatif melalui UU turunan sebagai kepastian hukum.