Mohon tunggu...
Harun Gafur
Harun Gafur Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sosial Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehidupan Perempuan Galela

17 September 2023   19:31 Diperbarui: 17 September 2023   19:38 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Muhammad Diadi


Perempuan dalam prespektif orang Galela dimana dianggap sebagai pemegang unsur nyawa atau jiwa (o gikiri) yang sangat dihormati bahkan menjadi kekuatan tersendiri dalam lingkungan keluarga, bilas sudah menikah. sedangkan Laki-laki di masa itu dianggap sebagai pemegang unsur nama/marga atau harga diri (o gurumini). Kedua unsur tersebut, o gikiri dan o gurumini, bersama-sama unsur tubuh (o rohe) merupakan satu kesatuan unsur yang menandai keberadaan manusia di alam dunia. Alasan yang dipakai orang Galela melihat dua unsur ini adalah bahwa perempuan memiliki rahim sebagai wadah, atau tempat awal mula persemaian bibit kehidupan dari laki-laki, serta air susu yang dapat menghidupi seorang bayi yang selama ini dianggap sebagai pemberi sekaligus menyebar dan penyelamat kehidupan.

Perempuan juga dianggap sebagai lambang kesuburan dan kehidupan dimasa depan sebagai madrasah atau sekolah pertama bagi anak-anak. Sedangkan laki-laki yang memproduksi sperma, atau zat hidup, dianggap sebagai pemilik, penjelaja, dan penguasa kehidupan ( Visser 1994:117-118).

Tugas keseharian Perempuan Galela mengatur rumah tangganya serta membuat makanan untuk anak dan suaminya, dari tugas pokonya perempuan Galela juga biasanya menanam pisang, kentang, jagung, padi dan sayur-sayuran. Sedangkan kaum pria/laki-laki pergi berburu (galela; o dhiha), pergi mengambil sagu (galela; o peda) dan memancing (galela: o hau) ikan di danau serta dilaut. Dari hasil buruan dan macing serta tanaman yang sudah dipanen itu selanjutnya dimasak oleh kaum perempuan, cara memasak paling  sederhana yang sering dilakukan dipanggang, direbus, digoreng dengan minyak kelapa serta nasi dan sagu harus disiapkan.

Setalah selesai di masak makanan yang sudah siap mereka makan biasa dua kali dalam sehari, yaitu pukul setengah sepuluh di pagi hari dan sekitar pukul setengah tujuh di malam hari, para perempuan juga tidak lupa untuk mengjagah bahan makanan sehingga dapat bertahan lama dimana masyarakat Galela masih menggunakan sistem barter (galela; tagi tagali moroi) dan kebanyakan dipratekkan oleh kaum perempuan sebagai bentuk rasa kekeluargaan.

Pakaian dan kain yang dipakai oleh perempuan umumnya mereka memakai kebaya berwarna putih sedangkan kain yang dipakai berwarna merah, orange, kuning, biru muda, biru tua, ungu. Sedangkan laki-laki memakai kain berwarna hitam dan merah serta penutup/pengikat kepalanya memakai warna merah, kuning, biru, hijau dan hitam. Pakain atau kain didapat dari hasil pertukaran dengan para pedagang Arab, Cina dan Jawa yang berada dibawah kontrol kesultanan Ternate sedangkan orang Alifuru Galela kebanyakan memakai sabeba yang terbuat dari kulit pohon serta perempuannya masih bertelanjang dada mereka kebanyakan menetap dipedalaman hutan.

Para perempuan Galela menghiasi tubuhnya dengan cara melukis telapak tangan dan kaki berwarna merah dengan pewarna dari alam, mereka memakai konde serta sisir dengan corak/motif kura-kura dan bunga serta menaruh bunga berwarna hijau ditelinga, rambut mereka sangat panjang diikat pada tengkuk kepala, mereka sangat menjagah kehalusan rambutnya dengan menggunakan santang kelapa (galela; o joho), kalung mutiara dan perak dari Belanda dihiasi dileher mereka tak hanya itu sabuk pinggang mereka berwarna merah sebanyak tiga kain yang dililiti oleh koin perak agak besar, mereka juga memakai gelang perak dan cincin serta gelang kaki dari perak dan sebuah mahkota dari perak yang dipakai dikepala, mereka juga memakai anting emas dalam setiap acara panen padi atau acara adat lainnya.

Untuk perempuan yang sudah menikah sangat dihormati dan dijagah oleh suaminya, perlakuan kasar terhadap istri bahkan kata kasar terhadap istrinya dapat menyebabkan dia kembali pada orang tuanya karena perempuan di anggap sebagai pemegang nyawa maka ketika suaminya ingin mengembalikannya kerumahnya maka harus dibayar denda (galela; o bobangi) dan hingga rasa sakit hati istrinya hilang baru bisa dia kembali.

Wanita Galela tidak dijual apalagi dijadikan pelacur, para laki-laki Galela selalu menjagah dan melindungi istrinya baik disaat mereka bersama-sama pergi kehutan serta melakukan perjalanan laut para istri juga sangat patut kepada suaminya. Sering terjadi peperangan antara suku terutama dengan suku Tobaru dan Tobelo ketika mereka meminang (galela, o suku), kepada perempuan Galela jika mahar kawin tidak lengkap persyaratannya maka hal itu dianggap sebagai pelecehan adat oleh masyarakat Galela dan akan terjadi saling membunuh antara suku, mereka (galela) sangat menjagah adat mereka terutama anak perempuan mereka jika terjadi kesalahpahaman maka mereka sering melakukan denda dan jika mereka mengdapati anak perempuan mereka berzina maka mereka akan membunuhnya (Baarda 1893:38-45).

Perempuan-perempuan Galela sangat taat kepada suami serta kedua orang tua mereka rela mengikuti suaminya kemana saja jika diijinkan mereka juga sangat mencintai anak-anaknya, merawatnya dengan kasih sayang walaupun nada mereka agak kasar ketika memanggil anak-anak mereka.

Editor: Harun Gafur
FG : Zain Bani Abdurrakhim
MD : Nitri Umaira ( Sanggar Budaya Gogaro Nyinga )

Mamuya, 16 / 09 / 2023

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun