“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku hanya menjalankan setiap bagian-bagiannya saja. Ibarat sebuah film, aku hanya sebagai penggemar beratnya. Menikmati tiap-tiap dari bagiannya, terkadang bagian itu menyeramkan, menyenangkan bahkan menyedihkan”
Suasana sungai yang tidak terlalu luas terbentang dihadapanku. Bau tak sedap hinggap dibulu-bulu hidungku. Entah dari mana bau itu. Aku, sedikitpun tak tertarik dari mana asal bau tak sedap itu. Jika benar sudah terjadi, terjadi sajalah. Lagi pula jika benar aku tahu dimana asalnya, aku juga tidak akan mempedulikannya. Emangnya untuk apa?
Sepit yang kunaiki ini sungguh berkecepatan kuda. Awalnya aku tidak menyangka, sepit yang tidak terlalu bagus ini ternyata bisa sekencang larian kuda. Bahkan kupikir lebih dari itu. Cepat sekali. Padahal, baru saja sepit ini melewati perahu nelayan yang lainnya. Namun dalam hitungan menit, jaraknya sudah jauh sekali. Air sungai yang berada disamping badan sepit ini juga ikut beriak kesegala arah sebabnya. Berhamburan. Di atas sepit inilah, aku ingin menghilangkan semua hal pahit yang tertancap kuat dipikiranku. Disini, hanya ada aku dan seorang pengemudi sepit muda dengan kaos putih yang sudah kotor. Bahkan dibagian lengan kirinya terlihat bolongan-bolongan kecil, sehingga dapat dilihat dengan mata telanjang permukaan kulit pengemudi muda itu. Sawo matang. Walaupun aku sedikit khawatir, sebab disini hanya aku sendiri yang perempuan. Tidak ada yang lain selain aku dan seorang pemuda itu. Awal aku ingin menaiki sepit ini saja, ia sudah menyapaku dan menyilahkanku dengan senyuman yang ramah. Sepertinya itu sudah cukup untuk membuatku percaya lebih. Itulah mengapa aku tetap percaya bahwa pemuda itu tetaplah pemuda yang baik. Tidak tahu mengapa aku bisa menilai pemuda itu pemuda yang baik. Tapi, terlihat dari semua tingkah lakunya yang aku amati, tidak salah lagi, ia adalah pemuda yang baik.
Tiupan angin yang menderu sejuk, membuatku terbayang kenangan masa lalu. Aku ingat sekali, saat dimana seorang lelaki menjadi tempat cerita untukku. Ah, kenangan. Aku akan mengingatnya selalu. Kulihat senja di langit barat sana yang berwarna biru keoranye-oranye karena pembiasan. Apakah lelaki itu menatap langit yang sama denganku? Aku harap iya. Sebab aku merindu padanya. Sungguh, aku merindu.
*****
“Silahkan mbak” dengan senyum penuh semangat, aku mencoba merayu orang agar naik ke atas sepitku. Namun, hal hasil kebanyakan orang tidak ingin naik. Mungkin saja sebab sepitku yang kalah jauh bagusnya dengan sepit-sepit yang lain. Ah, sudahlah. Mungkin hari ini bukan keberuntunganku. Terima sajalah. Bisa jadi, hari-hari esok akan lebih indah.
“Mas, saya naik ya?” tiba-tiba suara wanita terdengar oleh gendang telingaku. Alhamdulilah, akhirnya ada juga yang ingin menaiki sepitku. Kalau begini, aku tidak boleh membuat pelanggan kecewa. Aku harus mengantarkannya secepat mungkin sampai tujuan. Jangan salah, walaupun sepitku buruk begini, tetapi setiap ada perlombaan sepit, sepit akulah yang tercepat. Bukannya sombong, tapi aku sengaja begitu sebab aku tak ingin menilai sepitku dari arah negatif selalu.
Kini, aku hanya mempunyai satu penumpang wanita yang masih muda. Kira-kira dia seumuran denganku. Dengan segera, kupercepat sepitku hingga yang paling maksimal. Angin menderu kencang, membuat udara sejuk tak tergantikan. Sekali-kali kulihat wanita itu, sepertinya ia menikmati setiap hembusan angin yang datang menghampiri. Aku merasa puas sebab pelangganku juga ikut puas. Didepanku banyak sekali perahu-perahu nelayan, ada yang sedang berhenti ada juga yang sedang berlayar pelan. Pelan sekali. Sehingga tak terasa sepitku sudah mendahului perahu-perahu itu satu persatu.
Suasana yang sejuk dan wanita muda dibelakangku itu membuatku kembali ke masa lalu. Ah, aku ingat sekali saat dimana seorang wanita yang lebih tua dariku setahun, selalu bercerita apa adanya saat dihadapanku. Wanita itu sungguh anggun. Dengan rambutnya yang lurus mengkilap, dan tubuhnya yang tak terlalu pendek apalagi jangkung itu membuatku tertarik saat itu. Untung saja aku tidak seperti anjing yang mengernyah anjing-anjing lainnya. Aku masih punya akal untuk berfikir jernih. Namun, tetap saja. Namanya lelaki, wajar jika suka pada seorang wanita anggun sepertinya.
Aku ingat sekali saat ia menceritakan kisah hidupnya. Saat itu, ia menceritakan semua kejanggalan yang ia rasakan selama hidupnya. Aku hanya bisa terdiam, tersenyum dan terus saja mendengarkannya. Cukup dengan mendengarkan protes-protesnya saja, aku sudah nyaman. Setidaknya ada kawan yang bisa diajak bercerita. Ingin sekali aku bercerita, namun ia sama sekali tidak memberiku waktu untuk bercerita. Semua waktu pertemuan kami habis dengan kisah-kisah hebatnya itu. Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi ingat wanita spesial itu? Sekarang saja aku tidak tahu menahu dimana ia tinggal. Jangankan letak rumahnya, provinsi yang ia tempati saja aku tidak tahu. Ah, sudahlah. Disini, aku hanya menjalankan hidup yang sudah ditentukan. Jika benar aku ditentukan untuk berpisah dengannya, biarlah. Walaupun dalam hati aku berontak, sebab pikiran pendekku yang menganggap dialah wanita yang paling sempuran di bumi ini. Tidak ada yang lebih. Kenangan selalu membuatku tercengang sendiri. Kulihat senja di langit barat sana yang berwarna biru keoranye-oranye karena pembiasan. Apakah wanita itu menatap langit yang sama denganku? Kuharap, iya. Sebab aku merindu padanya. Sungguh, aku merindu.
Kulihat, sepit yang ada dihadapanku itu sungguh meriakkan air kesegala arah. Berhamburan. Bahkan, beberapa percikannya mengenai wajah serta kaos biruku. Akupun dengan sigap membelokan arah sepit ini sedikit kekiri. Sebab, jika sepitku masih tetap bertahan dibelakang, mungkin saja pelangganku juga ikut kebasahan. Sesaat setelah posisi sepitku sudah tepat disamping kiri dari sepit itu, segera kutarik pedal sepitku sehingga membuat kecepatannya semakin meningkat. Tak butuh waktu lama, sepitku sudah berada tepat disamping sepit itu. Tidak tahu mengapa, aku merasa ada yang aneh saat aku berada disamping sepit ini. Gelisah. Kulihat, semua tempat duduk sepit itu, kosong melompong, hanya satu bangku saja yang terisi. Seorang perempuan berambut lurus mengkilap, dengan baju yang sungguh anggun. Lebih anggun dari pada penumpang yang ada disepitku. Tiba-tiba perasaanku semakin menganeh sesaat dia melihat kerahku. Aku sempat melihat di luar tas birunya, ada sebuah bros bunga, persis sekali dengan bros yang dahulu pernah aku kasih pada wanita spesial itu. Ah, tidak mungkin. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Kencang sekali. Bukan hanya kencang, tetapi juga tak teratur. Mengapa bunga itu sama dengan bunga pemberianku untuk wanita spesial itu, disaat kami berdua berpisah. Warnanya sama, bentuknya sama, bahkan dibawah bunga itu ada tulisan “Dari Zulkarnain”. Dan itu mirip sekali dengan namaku. Bukan mirip, itu memang jelas namaku.
“Mbak Herlina?”
“Zulkarnain?”
Tulisan lainnya juga bisa dilihat di blog "www.haroemsoedah.wordpress.com"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H