Mohon tunggu...
Harum KhadijahFittaya
Harum KhadijahFittaya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa S1

Mendengarkan musik akan menyegarkan pikiran dan hati, memasak akan membuat perut kenyang dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghadapi Pandangan Sebelah Mata : Pengaruh Pendidikan Inklusif terhadap Stigma Masyarakat

27 Desember 2024   01:15 Diperbarui: 27 Desember 2024   01:15 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak ada manusia yang menginginkan hidup dengan kelainan pada fisik dan mental. Namun menjadi penyandang tersebut bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak individu yang meskipun menjadi penyandang disabilitas bisa menjadi penerang hidup dan pelengkap bagi teman-teman berkebutuhan khusus lainnya.

Setiap manusia pasti memiliki berbagai macam kebutuhan, tak terkecuali anak berkebutuhan khusus. Pendidikan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi untuk anak berkebutuhan khusus yang nantinya diharapkan bisa mengurus dirinya sendiri dan dapat melepaskan ketergantungan dengan orang lain. Tertampungnya anak berkebutuhan khusus dalam lembaga pendidikan semaksimal mungkin berarti sebagian dari kebutuhan mereka terpenuhi. Diharapkan lewat pendidikan ini mereka dapat mampu memperluas wawasan dan pandangan hidupnya. Sehingga mampu berpikir secara kreatif, inovatif dan produktif.

Dalam kehidupan, pendidikan merupakan salah satu aspek penting di dalam kehidupan masyarakat. Melalui pendidikan, masyarakat meneruskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya melalui sebuah interaksi sosial, sehingga pendidikan mampu menjadi salah satu bentuk sosial. Namun dengan adanya bentuk sosial yang tidak merata, akan munculnya kesenjangan sosial dan diskriminasi bagi para penyandang disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak berkebutuhan khusus atau ABK ini selalu menjadi topik perbincangan dari zaman dahulu hingga sekarang. Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak pada umumnya karena mereka mengalami ketidakmampuan mental, emosi, fisik atau masalah dalam perkembangannya (Meka dkk, 2023)

Dipandang sebelah mata sudah biasa. Anak berkebutuhan khusus selalu dianggap tidak bisa mengerjakan apa-apa, menjadi beban keluarga dan juga keresahan masyarakat. Dalam mendapatkan pendidikan pun masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa ABK tempatnya memang di SLB atau sekolah luar biasa karena tidak semua ABK dapat menerima ilmu dengan optimal dikarenakan kemampuan berpikirnya. Stigma sosial yang terkadang membuat anak berkebutuhan khusus justru hilang semangat dan membuat mereka tidak ingin melakukan apa-apa karena takut akan pandangan orang terhadap dirinya yang memiliki kekurangan baik dalam fisik, mental maupun perkembangan diri.

ABK bukan hanya ditempatkan di SLB saja, melainkan bisa ditempatkan di sekolah yang inklusif. Keberadaan SLB biasanya hanya ada di kota-kota besar, sehingga ABK yang tinggal di kabupaten atau pedalaman kecil sulit menemukan SLB (Rahim, 2016). Akibatnya, sebagian ABK, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau disekolahkan di sekolah terdekat, belum ada sekolah yang bersedia menerima dan mampu melayaninya. Sebagian yang lainnya, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah (Jhonsen, B.H., & Skjorten M.D.,2003)

Di Indonesia, belum semua sekolah menganut pendidikan yang inklusif. Namun, tidak sedikit juga sekolah yang sudah menerapkan pendidikan inklusif. Contohnya, pada kurikulum sekarang banyak sekolah yang menerapkan jalur ABK sebagai jalur masuk ke sekolah tersebut. Artinya, sekolah ini mengakomodasikan peserta didik baik yang normal maupun anak berkebutuhan khusus. Sekolah yang inklusif harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai gaya dan kecepatan belajarnya dan menjamin memberikan pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan marsyarakat sekitarnya.

Meski begitu, sekolah yang dikata inklusif pun sebenarnya didalamnya terdapat guru yang belum inklusif. Guru mata pelajaran yang sudah kewalahan dengan ABK tersebut, cenderung memaklumi dan membiarkan anak tidak mengerjakan tugas atau mengerjakan tugas apa adanya sehingga anak belum bisa paham esensi serta ilmu yang nantinya akan diserap. Padahal sudah seharusnya sekolah yang inklusif harus termasuk dengan guru yang inklusif pula. Anak yang berkebutuhan khusus bukan hanya perlu masuk sekolah dan mendapat nilai yang baik agar di cap normal, melainkan perlu adanya bimbingan sehingga anak mampu memahami dan mendapatkan materi pelajaran yang sama untuk masa depannya kelak. Namun pada kenyataannya, kurangnya pelatihan dari guru untuk sekolah yang inklusif menyebabkan siswa yang berkebutuhan khusus tidak terpenuhi kebutuhannya.

Tidak hanya berlaku untuk guru, tetapi orang tua dan masyarakat umum juga sangat dianjurkan mengikuti sosialisasi dan memahami tentang sekolah inklusif dan ABK. Terkadang, orang tua sendiri pun belum sepenuhnya memahami bahwa kondisi anaknya belum bisa masuk ke sekolah yang dipilih secara bebas dan acak. Orang tua harus lebih jeli dan mau mencari sekolah yang memang terindeks inklusif, baik sekolah maupun gurunya agar semuanya sama-sama enak dan terpenuhi kebutuhannya. Pemahaman masyarakat umum yang kurang juga menyebabkan tidak diterimanya ABK dilingkup sekolah negeri biasa. Selain lingkup sekolah, lingkup sosial pun belum sepenuhnya menerima keberadaan ABK. Sehingga tidak jarang anak berkebutuhan khusus mendapatkan diskriminasi dari masyarakat.

Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan dan potensi pada anak ABK. Stereotip dan prasangka negatif masih melekat, sehingga membatasi kesempatan dan aksesibilitas bagi ABK. Selain itu, keterbatasan sumber daya pendidikan, ekonomi dan psikologis juga menjadi hambatan. Oleh katena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, mengembangkan pendidikan inklusif dan menyediakan dukungan yang tepat untuk membantu ABK mencapai potensi mereka.

Hal ini berarti mengungkapkan bahwa guru maupun orang tua perlu memahami kebutuhan dan potensi anak walaupun intelegensi mereka tidak berbeda dengan anak normal. Agar tidak memberatkan guru maka sekolah dianjurkan untuk menyediakan fasilitas kelas yang khusus atau dalam kelas inklusi. Kelas inklusi akan lebih memberikan makna bagi anak jika hanya menampung anak yang mengalami kelainan yang sejenis saja (Abdullah, 2013)

Pendidikan inklusif bukan hanya sekedar penerimaan tapi pelayanan. Dalam pelaksanaannya di sekolah regular dibutuhkan guru yang unggul, tangguh dan mampu menciptakan iklim kelas yang ramah. Dengan begitu, seluruh peserta didik akan merasa diakui dan dihargai keberadaannya. Dalam hal ini, bukan hanya kerjasama antara anak dan guru saja, tetapi orang tua dan komunitas atau masyarakat juga perlu ikut andil. Persoalan ini menjadi tantangan besar bagi guru dan sekolah dalam mempertahankan keikutsertaan memaksimalkan partisipasi semua anak. Perlu diadakannya banyak sosialisasi terkait anak berkebutuhan khusus serta pendidikan inklusi ke sekolah-sekolah atau media sosial. Demi pemahaman yang optimal kepada masyarakat dan mengurangi adanya diskriminasi serta stigma sosial terhadap anak berkebutuhan khusus yang memiliki hak mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak lainnya. Karena pada dasarnya setiap manusia ingin mendapatkan hak yang sama dan tidak ada yang inget lahir, hidup, dan tumbuh menjadi anak yang berkebutuhan khusus. Sebagai manusia kita hanya bisa bersyukur dan menerima diri dan orang disekitar tanpa adanya diskriminasi sedikitpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun