Mohon tunggu...
Harumi Puspaharini
Harumi Puspaharini Mohon Tunggu... lainnya -

sahaya manusia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rakshasa dan Bhuta

15 Mei 2011   10:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pantatku pegal-pegal, tadi Bapak mengayuh sepeda terburu-buru ke rumah dukun bayi. Dirumah, dikamarku, ibu sedang mengejan, sekuat tenaga mendorong adikku keluar dari perutnya dibantu oleh dukun bayi. Bapak menunggu di ruang depan bersamaku. Gopoh-gapah dukun bayi itu mengahampiri kami, menyatakan bahwa adikku telah lahir, sehat, perempuan, tapi anehnya tidak menangis.

Bapakku segera masuk ke kamar, menggendong adikku kebelakang, menghanyutkannya ke sungai. Itu kedua kalinya bapak menghanyutkan adik perempuanku. Dan ibuku biasanya menangis tak henti-henti sampai akhirnya berhenti sendiri.

“kenapa dihanyutkan?” aku mencoba meminta penjelasan pada Bapak yang sedang dengan tenangnya mencangklong.

“terlalu buruk rupa, seperti bangsa rakshasa dan bhuta”

“lalu mereka tinggal dimana?”

“tinggal di hilir sungai”

***

Usiaku kini 16 tahun. Di sore yang bermatahari, aku menelusuri sungai ke hilir. Aku mau melihat adikku yang buruk rupa seperti bangsa rakshasa dan bhuta.

Dihilir aku bertemu dua perempuan hanya memakai jarit, sedang bermain air. Aku bersembunyi di balik batu besar, mengendap-endap mendekati, ingin sekali aku melihatnya dari dekat. Itu pasti kedua adikku yang dihanyutkan bapak.

Apa Bapak tidak salah lihat, kedua adikku ini berkulit kuning, mata mereka besar namun tidak melotot seperti buta, gigi-giginya seperti mentimun, kecil dan berbaris rapi, alisnya hitam lebat seperti semut berbaris. Dagunya seperti lebah menggantung, dadanya penuh berisi. Kenapa bangsa rakshasa dan bhuta ini jauh dari cerita bapak. Badanku berdesir-desir, melihat tubuh mereka yang basah.

***

“darimana saja kau?”

“habis menyetubuhi bangsa rakshasa dan bhuta Pak”

Mendengarnya, ibu menangis tak henti-henti, sampai akhirnya berhenti sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun