Pantatku pegal-pegal, tadi Bapak mengayuh sepeda terburu-buru ke rumah dukun bayi. Dirumah, dikamarku, ibu sedang mengejan, sekuat tenaga mendorong adikku keluar dari perutnya dibantu oleh dukun bayi. Bapak menunggu di ruang depan bersamaku. Gopoh-gapah dukun bayi itu mengahampiri kami, menyatakan bahwa adikku telah lahir, sehat, perempuan, tapi anehnya tidak menangis.
Bapakku segera masuk ke kamar, menggendong adikku kebelakang, menghanyutkannya ke sungai. Itu kedua kalinya bapak menghanyutkan adik perempuanku. Dan ibuku biasanya menangis tak henti-henti sampai akhirnya berhenti sendiri.
“kenapa dihanyutkan?” aku mencoba meminta penjelasan pada Bapak yang sedang dengan tenangnya mencangklong.
“terlalu buruk rupa, seperti bangsa rakshasa dan bhuta”
“lalu mereka tinggal dimana?”
“tinggal di hilir sungai”
***
Usiaku kini 16 tahun. Di sore yang bermatahari, aku menelusuri sungai ke hilir. Aku mau melihat adikku yang buruk rupa seperti bangsa rakshasa dan bhuta.
Dihilir aku bertemu dua perempuan hanya memakai jarit, sedang bermain air. Aku bersembunyi di balik batu besar, mengendap-endap mendekati, ingin sekali aku melihatnya dari dekat. Itu pasti kedua adikku yang dihanyutkan bapak.
Apa Bapak tidak salah lihat, kedua adikku ini berkulit kuning, mata mereka besar namun tidak melotot seperti buta, gigi-giginya seperti mentimun, kecil dan berbaris rapi, alisnya hitam lebat seperti semut berbaris. Dagunya seperti lebah menggantung, dadanya penuh berisi. Kenapa bangsa rakshasa dan bhuta ini jauh dari cerita bapak. Badanku berdesir-desir, melihat tubuh mereka yang basah.
***
“darimana saja kau?”
“habis menyetubuhi bangsa rakshasa dan bhuta Pak”
Mendengarnya, ibu menangis tak henti-henti, sampai akhirnya berhenti sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI