Aku biasa pulang larut malam, pekerjaan menumpuk. Di Sarinah aku hendak mencegat taxi, seorang perempuan duduk di halte. Kakinya terlalu jenjang dan telanjang. Kuurungkan pulang cepat-cepat. Aku duduk disampingnya, mengambil jarak keumuman. Perempuan itu terisak, pilu.
Bukan tipe senang berbasa-basi dan mendahului berbincang dengan orang asing, maka aku hanya diam. Berharap adaku disitu sedikit membantunya. Mengingatkannya, bahwa dia tidak dan bukan satu-satunya orang paling menderita di dunia ini. Taxi berlalu-lalang, tidak juga kuhentikan, perempuan itu tersadar bahwa aku tidak hendak pulang.
Kubakar sigaret, asapnya menghampiri wajah perempuan itu. Menabrak lehernya yang terlalu jenjang dan telanjang.
“aku pelacur” perempuan itu memperkenalkan pekerjaannya, bukan dirinya. Aku sudah tahu, atributnya merepresentasikan pekerjaannya. Pelacur kelas bawah.
“kenapa kau ada disini? Tidak melacur?”
“sudah, aku diturunkan disini, tubuhku tidak dibayar” aku yakin perbuatan kliennya itu tidak melukai dia sebagai pelacur, tapi melukai kemanusiaannya, keperempuanannya.
“apa kau masih akan melanjutkan kerja malam ini?”
“tidak”
Aku berdiri, menatapnya, menyerahkan jaket untuk menyembunyikan kulitnya yang seputih pualam. Sebelum meraih jaketku dia menatapku, menaksir apakah aku perempuan baik atau bajingan.
“aku traktir kamu makan bakmi goreng” kataku sambil berjalan mendahului.
“tapi aku mau bakmi rebus” sambil berlari-lari kecil mengejarku.
Dibalik punggungku aku tersenyum, dia kekanakan, dia terlalu jenjang dan telanjang.
Di sebuah tenda berwarna biru, aku menemaninya menyantap bakmi rebus. Dengan mie tidak terlalu matang, sayur yang banyak, tidak terlalu pedas, manis dan asin. Dia bercerita bahwa baju yang dikenakannya adalah baju paling baru, putih sebatas lutut, dengan belt berwarna cokelat model 80an, membatasi pinggul dan dadanya. Aku hanya mendengarkan, menikmati tingkah dan ceracaunya.
Kami berjalan menuju halte, dia menggenggam tanganku, tanpa malu tanpa ragu.
Aku takut kau suka pada diriku, karena memang aku bukan lawan jenismu. (Efek Rumah Kaca : Bukan Lawan Jenismu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H