Jepang memang sekarang menjadi momok bagi tim-tim di Asia karena mereka selalu tampil dengan tim yang hamper sama pada beberapa tahun terakhir ini. Pasangan Chen Dawei/Kazuo Furata yang kini bermain di Liga China menjadi tulang punggung tim Jepang. Mereka juara tahun 2013 di Hongkong dan 2015 di Bangkok pada kejuaraan yang sama.
Namun dengan kekuatan tim Indonesia saat ini, kita mampu bersaiing dengan mereka. Tim Indonesia dengan pemain yang hamper sama seharusnya juara tahun 2013 di Hongkong bukan Jepang. Tapi karena salah seorang pemain Indonesia lalai membawa HP ke ruang pertandingan maka kita harus puas diperingkat dua. Denda 1,6 VP membuat Jepang keluar sebagai juara karena meraih 273, 32 VP sedangkan kita 237, 20 VP.
Disamping Jepang, saingan berikutnya adalah China yang kini diperkuat kembali oleh Jack Zhao juara dunia pasangan dengan Fu Zhong. Namun berbeda kali ini, Jack Zhao tidak berpasangan dengan Fu Zhong lagi usai mereka menjadi juara dunia pasangan.
Selain kedua tim diatas ada kuda hitam Singapura, juara tahun 2014 dimana Indonesia juga menjadi runner-up serta Taiwan yang kembali diperkuat pemain old crack, Patrick Huang.
Melihat data diatas, rasanya jika tim Indonesia bisa tampil dengan penampilan terbaik mereka, juara APBF 2017 bukan mustahil untuk direbut. Tugas berat tertumpu kepada pasangan Denny Sacul/Franky Karwur yang harus mematangkan kembali partnership mereka setelah berpisah cukup lama. Disamping itu tentu saja kerja keras pasangan Giovani Watulpartnership agreement.ingas/Bill Mondigir untuk membina kerjasama mereka yang relative baru apalagi kedua pemain memilih bermain sistim standart. Sistim standart memang mudah dipelajari dan dipakai terutama bila baru berpasangan tapi ketika tampil di event besar seperti ini maka perlu dilengkapi dengan berbagi konvensi dan partnership agreement.
Di nomor putri rasanya juara hanya akan ditentukan oleh dua team, China dan Indonesia. Siapa yang tampil lebih baik dalam mengumpulkan point, dia yang akan tampil sebagai juara. Disini dalam bermain setengah kompetisi, tim putri kita hanya cukup meningkatkan naluri membunuhnya. Dalam pengalaman menemani tim putri kita sebagai Non Playing Captain, kemampuan tim putri kita sudah sejajar dengan tim elite dunia. Kekurangan kita, pemain kita sulit mendapatkan try-out melawan pemain-pemain kuat karena problem dana sehingga naluri membunuhnya kurang terasah. Berbeda dengan pemain putri China yang rajin mengikuti turnamen besar di Amerika.
Di nomor senior yang selama ini dikuasai justru akan banyak penantang kuat. Selain Jepang yang selama ini menjadi musuh bebuyutan serta Australia. Kini ada saingan baru, yaitu Taiwan, China dan Hongkong. Taiewan dan China selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini terdiri dari pemain yang sama sedangkan Hongkong kali ini tampil dengan tim yang pernah keluar sebagai juara Far East Bridge Federation tahun 1970 di Jakarta.
Indonesia yang kehilangan Munawar Sawiruddin yang selama ini menjadi motor team karena sedang sakit butuh kerja keras agar mampu mempertahankan juara yang diraih tahun 2015 di Bangkok.
Mudah-mudahan Pelatnas yang berlangsung tanggal 4-14 Mei 2017 akan menjadi sarana untuk memantapkan partnership sehingga bisa mengurangi kesalahan yang timbul nanti dipertandingan.
Sebagai olahraga yang suka dijuluki “game of error” maka sudah pasti siapapun tidak akan luput dari kesalahan. Untuk menjadi juara kita tidak perlu bermain brilian, cukup meminimalisasi kesalahan.
Semoga target yang telah ditetapkan dapat dicapai, mari kita dukung bersama.